Asyraf Tolak Keras Pernikahan Usia Anak, Ini Sebabnya

“Prelevansinya, anak perempuan di pedesaan mengalami kerentanan dua kali lipat lebih banyak untuk menikah dibanding dari daerah perkotaan,”
Dr. Asyraf Suryadin, M.Pd

Beltim – Dr. Asyraf Suryadin, M.Pd Kepala DP3ACSKB Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menolak keras pernikahan usia anak. Pasalnya banyak dampak buruk akibat pernikahan usia anak tersebut. Selain itu, pernikahan usia anak pelanggaran atas hak anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Pernikahan usia anak di Indonesia termasuk tertinggi kedua di Asean setelah Kamboja. Asyraf menambahkan, diperkirakan satu dari lima anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun. Anak perempuan menjadi korban paling rentan dari kasus pernikahan usai anak.

“Prelevansinya, anak perempuan di pedesaan mengalami kerentanan dua kali lipat lebih banyak untuk menikah dibanding dari daerah perkotaan,” kata Asyraf saat Kegiatan Penandatanganan Komitmen Bersama Zero Pernikahan Usia Anak, di Auditorium Zahari M. Zein, Kabupaten Beltim, Rabu (24/5/2023).

Pengantin anak paling mungkin berasal dari keluarga miskin. Asyraf menambahkan, begitu juga dengan perempuan kurang berpendidikan dan drop out dari sekolah, umumnya lebih rentan menjadi pengantin anak daripada anak bersekolah. Pendidik sangat penting untuk menekan angka pernikahan usai anak tersebut.

Pernikahan usia anak diatur Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No 23 Tahn 2002 dan Kepres No 36 Tahun 1990 tantang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.

Mengenai ratifikasi disebutkan, jelas Asyraf, segala kegiatan menjamin dan melindungi anak dan hak-hak anaknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Tak hanya itu, perkawinan usai anak juga menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Asyraf mengatakan, kasus ini menyebabkan tidak terpenuhi hak dasar anak seperti, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Begitu juga hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan dan hak sosial anak.

Pemerintah memberikan mandat pencegahan perkawinan usia anak melalui Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Ia menambahkan, jika terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur tersebut, orang tua pasangan dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti pendukung.

“Pemberian dispensasi oleh Pengadilan, wajib mendengarkan pendapat kedua belah pihak calon mempelai yang melangsungkan perkawinan,” jelasnya.

Sebelumnya Bupati Belitung Timur Burhanudin juga mengajak agar masyarakat melakukan pencegahan pernikahan usia anak. Jika tidak dilakukan, bukan hanya masalah pernikahan yang muncul. Sebab akan muncul juga permasalahan setelah anak tersebut menikah.

“Tidak lagi tabu untuk membicarakan dan mensosialisakan mengenai pernikahan usia anak ini. Jika anak perempuan sudah menstruasi dan anak laki-laki sudah mimpi basah, maka berikan penjelasannya,” saran Burhanudin.

Kegiatan ini dihadiri Forkopinda, para Kadis OPD, para Camat, dan para Kades se-Kabupaten Belitung Timur. Menutup kegiatan dilakukan penandatanganan komitmen bersama Zero Pernikahan Usia Anak.(Hzr)

Tinggalkan Balasan