Oleh: Marwan Al Ja’ fari
HARI Kamis 19 oktober 2023, saya sedang melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung dengan naik Bus travel Trans Bandung. Kebetulan kursi tempat duduk saya berada disamping sopir, saat itu saya lihat persneling mobilnya sudah menggunakan teknologi metic, dikarenakan seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi, berbeda dengan mobil yang dahulu, teknologi persneling mobilnya masih manual.
Perbedaannya kalau mobil manual, pedal yang diinjak ada tiga item, yaitu kopling, gas dan rem. Sedangkan mobil keluaran baru sekarang, sang sopir hanya dibutuhkan cukup dengan keterampilan menginjak dua item saja yaitu gas dan rem.
Kalau kita hubungkan dengan proses perjalanan manusia yang ingin mencapai tujuan untuk bertemu dengan Tuhannya sangat selaras dengan hal ini. Dimana suatu perjalanan akan bisa mencapai tujuan, jika ada keterampilan yang bisa ngegas dan bisa ngerem, sehingga keseimbangan perjalanan bisa terjaga.
Menjalani hidup ini tidak boleh ngegas terus, kalau ngegas terus maka akan membuat kendaraan sulit dikendalikan, dan juga tidak boleh ngerem terus, karena kalau ngerem terus akan membuat kendaraan menjadi tidak bergerak dan diam menyebabkan tujuan tidak tercapai.
Kemudian kalau kita mengamati rute perjalanan yang dilalui ternyata harus melewati jalan yang berputar, sebagaimana perputaran bumi mengelilingi matahari, bisa juga diibaratkan, seperti kita main suit (tos), jari telunjuk kalah dengan jempol, jempol kalah dengan kelingking, kelingking kalah dengan telunjuk, begitulah perputaran selanjutnya.
Faktanya memang seperti itu, perputaran roda kehidupan ini, terkadang di atas, terkadang di bawah, dan dalam perjalanan nanti akan ditemui halte- halte kehidupan berupa kondisi siang dan malam, senang dan susah, gembira dan sedih, panas dan dingin, kaya dan miskin, sukses dan gagal, dll.
Terus menerus seperti itu, jadi kita tidak perlu galau jika sekarang sedang berada di posisi bawah, karena suatu saat nanti akan berganti naik keposisi atas. Perputaran ini akan berakhir apabila sudah sampai pada tujuannya yaitu innalillahiwainna ilaihirojiuun.
Kalau kita membuka pedoman ilmu kesempurnaan masyarakat Jawa, akan kita temui tiga kekuatan yang saling melengkapi, dikenal dengan nama tiga dalam satu yaitu Cakra Manggilingan, Ojo Dumeh nan Waspada, artinya dalam menjalani perputaran roda kehidupan, kita hidup tidak boleh mentang-mentang dan teruslah waspada serta jangan lupa diri.
Perputaran roda ini harus dijaga dan dirawat, agar terus berputar dan jangan sampai macet, karena kalau macet maka kasihan dengan posisi yang sedang berada di bawah, ia akan tertekan dan sengsara dalam waktu yang lama. Tapi yang berada di posisi ataspun kalau terlalu lama akan berbahaya bagi dirinya, karena kalau hidup senang terus dan tidak pernah merasakan hidup susah.
Justru akan membuat ia terlena dan lupa diri, akhirnya lupa dengan tugasnya untuk ngerem, karena kalau ngegas terus malah akan membuat dirinya terjungkal ke dalam jurang.
Jika kita gali lebih dalam lagi masalah ini, sangat menarik untuk di cermati, karena masyarakat Indonesia sebentar lagi di tahun 2024 akan memasuki kehidupan berikut nya berupa tahun politik, di halte ini akan ada kegiatan PILPRES, PILGUB, PILBUP, PILWAKO dan PILEG.
Pada musim ini di prediksi iklim politik akan mengalami cuaca panas yang extrim, dan akan berdampak terganggunya persaudaraan, kebersamaan, serta kekompakan masyarakat yang telah terbangun selama ini, oleh para politisi yang sedang mencari panggung untuk memperoleh dukungan suara.
Diperkirakan, politik identitas dengan mengangkat isu SARA akan kembali mereka gulirkan. Memasuki iklim ini, masyarakat diharapkan harus cerdas mengendalikan emosinya.
Keterampilan ngegas dan ngerem harus digunakan, kalau tidak, maka kita akan larut dengan permainan mereka dan perpecahan antar sesama kita pun tidak bisa terelakkan lagi, dikarenakan masyarakat kita banyak yang belum dewasa dalam mensikapi setiap datangnya musim politik. Akhirnya politik seolah menjadi energi untuk terus berseteru bukan untuk berpadu menciptakan kebajikan bersama.
Pada musim ini biasanya akan banyak pula ditemui adanya para pendakwah dadakan, mereka terus berseru ke jalan lurus, pentingnya berserah diri kepada Sang Ilahi Rabbi, memperbanyak untuk beramal kebajikan, menjauh dari gibah dan namimah (fitnah).
Namun setelah itu, mereka ikuti dengan memaki dan menebar kebencian serta membuang tabayun untuk sesuatu yang belum pasti.
Belakangan saya kerap berdebar, karena mendengar ceramah dan tausiah di beberapa masjid, beberapa kali saya mendengar para pendakwah menggemakan isu-isu sumir di media sosial.
Kerap sang pendakwah lupa bahwa konteks bicaranya di tempat ibadah dengan pendengar yang khusus (umat Islam), tapi pengeras suara membawanya ke ruang publik yang luas. Bukankah di sekitar masjid juga banyak bermukim saudara kita yang lintas iman.
Jujur, saya tak akan gembira kalau melihat fakta ada warga negara yang menjadi tersangka pidana, apalagi sampai dipenjara, hanya gara-gara fanatisme terhadap dukungan politik, ini menandakan bahwa kita tidak cerdas dalam mengantisipasi situasi yang penuh dengan dagelan dan sandiwara.
Semestinya alam demokrasi harus membuat seluruh warga negara bergembira karena bisa menyalurkan kebebasan dukungannya, tapi mengapa malah membuat mereka jadi terkekang.
Kita mafhum, salah satu kemewahan demokrasi ialah kebebasan warga negara mengeluarkan pendapat. Namun, kita juga mesti paham tak ada kebebasan yang tak bertepi melintasi segala cakrawala.
Benar apa yang dikatakan salah seorang pengajar filsafat Universitas Indonesia, Donny Garhal Adian, bahwa di dalam demokrasi itu ada kebebasan dan adapula batas kebebasan. Kebebasan itu ibarat mobil, dan demokrasi itu gasnya, sementara Pancasila adalah remnya.
Demokrasi membebaskan kita berpendapat, dan Pancasila menghentikan pendapat yang meretakkan persatuan. Sepertinya manajemen menginjak gas dan menekan rem inilah yang masih menjadi problem kita. Ada yang masih mabuk kebebasan demokrasi, dengan menginjak gas sepanjang jalan dan lupa menginjak rem.
Mereka mengabaikan etika, estetika (kepantasan) dan hukum. Ketika diingatkan, mereka berdalih, ini hak konstitusional warga negara, kalian mesti menghormati kami. Mereka lupa di sana ada hak konstitusional sesama saudara, yang juga tak boleh diganggu.
Mengapa di negeri ini perbuatan memaki, menuduh sesuka, dan mengancam sepertinya sudah menjadi budaya dan kegemaran baru. Seolah-olah telah menjadi kegagahan dan kebanggaan bagi dirinya.
Oleh karena itu agar kita bisa mencapai tujuan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT, jangan lupa tingkatkan keterampilan kita untuk nginjak gas dan nginjak rem. Semoga bermanfaat.
KONTEN ini rubrik opini, inspirasi, jurnalisme warga. Konten ini menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Pangkalpinangplus.