Oleh: Syafrudin Prawiranegara
Sekretaris MABMI KBB
SEJARAH kadang tidak datang sebagai peristiwa besar, tetapi menyelinap dalam kebetulan-kebetulan kecil yang menyimpan makna. Beberapa waktu lalu, Gubernur Melaka Tun Mohd Ali Rustam datang ke Bangka, disambut hangat oleh Dato’ Panghulu Marwan Al Ja’fari (Ketua PW MABMI KBB). Tun yang juga Presiden DMDI itu menyapa kembali jejak festival tahun 2003, dan menyambung ikatan budaya yang telah terjalin sejak dulu.
Di tanah yang sama, telah lebih dahulu hadir bahkan bertugas, Restu Widiyantoro, seorang putra Demak. Ia hadir bukan sebagai utusan kerajaan, bukan pula dalam jalur budaya, tetapi dalam kapasitas industri—mengelola tambang yang sejak lama menjadi denyut ekonomi di Kepulauan Bangka Belitung. Dia adalah Dirut PT Timah.
Tak ada pertemuan antara Gubernur Melaka dan Dirut PT Timah, hari itu. Tapi kehadiran mereka di tempat yang sama, Pangkalpinang, terasa seperti bisikan sejarah. Seolah Melaka dan Demak, dua simpul besar dalam sejarah Islam dan budaya maritim Melayu, sedang bertemu kembali—meski dalam bentuk yang berbeda.
Jika dahulu mereka bersatu dalam semangat membina negara dan perjuangan melawan penjajahan, hari ini bentuk pertemuan itu bisa berupa tanggung jawab bersama: menjaga alam, menghormati budaya, dan mengangkat marwah masyarakat setempat.
Dalam konteks inilah, pertemuan antara MABMI KBB dan PT Timah menjadi penting. Bukan sekadar pertemuan organisasi, tetapi jembatan antara dua dunia: antara struktur kekuasaan ekonomi dan nilai-nilai kebudayaan lokal.
MABMI akan mengulurkan tangan lebih dahulu. Bahkan, dengan tradisi yang telah dibangun sebelumnya, tengah dipertimbangkan untuk menganugerahkan gelar kehormatan adat kepada sang Direktur, sebagai simbol penerimaan masyarakat Melayu Kepulauan Bangka Belitung terhadap kepemimpinan baru. Ini bukan basa-basi adat. Ini adalah ajakan untuk berjalan bersama sebagai mitra yang saling menguatkan, bukan hanya saling membutuhkan.
Mungkin memang belum waktunya Gubernur Melaka dan Direktur PT Timah bersua. Tapi ketika pertemuan antara PT Timah dan MABMI terjadi—dalam spirit keadaban dan kemitraan sejati—hal itu bisa menjadi awalan dari sesuatu yang lebih besar.
Karena siapa tahu, ketika waktunya tiba, saat sejarah kembali berbisik dan budaya memberikan restunya, pertemuan antara Melaka dan Demak bukan lagi catatan lama—melainkan kenyataan baru yang terwujud di tanah Kepulauan Bangka Belitung: sebagai wilayah marwah, tempat nilai lama hidup kembali dalam bentuk yang relevan. Semoga!

