Dato’ Panghulu Marwan al-Ja’fari, DPMP
Ketua MABMI KBB
Dalam sebuah majelis pengajian, saya pernah ditanya oleh seorang jamaah:
“Mengapa orang Melayu, yang identik dengan Muslim, rata-rata hidup miskin dibandingkan dengan orang Tionghoa keturunan Tiongkok?”
Pertanyaan tersebut sempat membuat saya tersentak. Sebagai Ketua Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, saya merenung sejenak dan menyadari bahwa pertanyaan itu tidak dapat diabaikan. Ada kenyataan sosial yang memang tampak demikian.
Hal ini mendorong saya untuk menelaah lebih jauh, apa faktor yang membuat kehidupan ekonomi masyarakat Melayu relatif tertinggal dibandingkan kelompok lain, khususnya warga keturunan Tionghoa. Dari perenungan sederhana, setidaknya terdapat dua faktor utama:
1. Faktor Intelektual: Kesalahan Pola Pikir
Sebagian masyarakat Melayu masih memiliki pandangan bahwa kekayaan duniawi bertentangan dengan kesalehan. Ada keyakinan bahwa semakin banyak harta, semakin besar pula pertanggungjawaban di akhirat. Sebaliknya, hidup miskin dianggap lebih aman dari beban hisab.
Kesalahan serupa juga muncul dalam memaknai konsep zuhud. Zuhud sering dipahami sebagai menjauhi dunia dan menghindari kecintaan terhadapnya. Padahal, mencintai keluarga, merawat anak, atau memiliki harta, juga merupakan bagian dari kehidupan dunia.
Islam tidak melarang memiliki harta, selama harta tersebut tidak melalaikan dari ibadah. Justru dengan harta, seorang Muslim dapat berzakat, berinfak, bersedekah, membantu fakir miskin, memberi beasiswa, hingga membuka lapangan kerja.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya.”
Dengan demikian, pemahaman yang keliru inilah yang membuat sebagian masyarakat Melayu kurang optimis dalam bekerja dan berusaha. Sebelum berikhtiar, mereka sudah berserah pada takdir. Padahal, takdir merupakan rahasia Ilahi yang tidak bisa diputuskan oleh manusia. Islam menekankan keseimbangan: ikhtiar maksimal terlebih dahulu, kemudian tawakal.
2. Faktor Teknis: Kerterbatasan Keterampilan Bisnis
Faktor kedua adalah lemahnya keterampilan teknis dalam bidang usaha. Banyak orang Melayu terjun ke dunia bisnis hanya karena ikut-ikutan, tanpa fondasi keilmuan dan keterampilan yang memadai.
Padahal, berbisnis menuntut pemahaman komprehensif: mengenali segmen pasar, memastikan kualitas produk, memahami perilaku konsumen, mampu menangani keluhan, serta menguasai manajemen operasional. Tanpa keterampilan tersebut, usaha cenderung tidak bertahan lama dan sulit berkembang.
Untuk meningkatkan keberhasilan usaha, dibutuhkan kompetensi yang lebih luas: pengetahuan, pengalaman, jejaring, hingga kemampuan mengakses informasi. Dalam konteks modern, keterampilan tambahan seperti penguasaan bahasa Inggris, akuntansi, hukum bisnis, serta manajemen pelayanan juga menjadi kebutuhan penting.
Penutup
Dua faktor di atas—pola pikir yang keliru dan keterbatasan keterampilan teknis—merupakan tantangan utama yang perlu diatasi masyarakat Melayu untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya.
Dengan perubahan mindset yang lebih positif serta peningkatan kapasitas dalam berusaha, masyarakat Melayu dapat lebih berdaya saing dan berkontribusi bagi kesejahteraan bersama. Islam menekankan pentingnya kerja keras, profesionalisme, dan memberi manfaat bagi sesama.
Sudah saatnya masyarakat Melayu membuktikan bahwa mereka pun mampu menjadi pelaku ekonomi yang tangguh dan berjiwa wirausaha (enterpreneur).

