Oleh : Syafrudin Prawiranegara
Sekretaris MABMI KBB
Fajar hari itu berbeda.
Rabu lalu. 23 Juli.
Langit timur SumselBabel–bukan bank, menyuguhkan pemandangan yang membuat senyum. Gembira.
Ada bulan sabit.
C terbalik.
Mulutnya menghadap kiri — dilihat dari arah kita.
Bentuk yang tak asing.
Tapi juga tak setiap malam terlihat.
Ia langsung mengingatkan satu hal. Bendera kultural Negeri Serumpun Sebalai.
Namanya: Serambi Cahaya. Ada sabitnya juga.
Sabit di Serambi Cahaya tak seperti sabit di bendera negara: Turki. Aljazair. Pakistan. Malaysia.
Singapura. Komoro. Tunisia. Azerbaijan. Uzbekistan. Di semua bendera negara-negara ini, mulut sabitnya menghadap kanan. Seperti huruf C. Biasa.
Sabit di Serambi Cahaya hanya mirip satu negara: Turkmenistan.
Negara yang merdeka tahun 1992.
Setelah Uni Soviet runtuh setahun sebelumnya.
Tapi tidak ada kesengajaan.
Tak ada niat meniru negara penghasil permadani itu.
Sabit di Serambi Cahaya, lahir dari langit sendiri.
Langit lokal — kalau orang Malaysia dan Kepri menyebutnya: Langit tempatan.
Sabit yang disuguhkannya, direkam.
Dimasukkan bendera.
Sejak Serambi Cahaya diperkenalkan lebih dari setahun lalu,
sabit “C Terbalik”, jadi seperti punya daya sendiri.
Ia mengundang rindu.
Dinanti-nanti. Oleh yang mengenal Serambi Cahaya.
Sekadar untuk disenyumi.
Atau untuk dibacakan doa.
Seperti tuntunan Nabi SAW:
“Allahu akbar, Allahumma ahillahu ‘alainaa bil-amni wal-imaan, was-salaamati wal-islaam, wattaufiiqi limaa tuḥibbu wa tardhoo. Rabbii wa Rabbukallaah.”
Artinya:
“Allah Maha Besar.
Ya Allah, tampakkanlah hilal ini kepada kami
dengan keamanan, keimanan, keselamatan, dan Islam,
serta taufik untuk melakukan yang Engkau cintai dan ridhai.
Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”
Hilal? Ya, setiap bulan sabit adalah hilal. Begitu kata ahli bahasa Arab.
Bukan cuma tanda awal bulan. Tapi juga akhir bulan.
Dan Rabu lalu,
hilal itu muncul sebagai tanda:
bulan akan berganti.
Kalender Hijriah menunjukkan:
27 Muharram 1447 H.
Satu fase menjelang berakhir.
Seperti disebut dalam Surah Yasin ayat 39. Yang biasa kita baca:
“Wal-qomaro qoddarnaahu manaazila hattaa ‘aada kal-‘urjuunil-qadiim.”
Artinya:
“Dan Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah (fase-fase), hingga akhirnya ia kembali seperti tangkai kurma yang tua.”
Dari bulat purnama.
Ke sabit.
Lalu menghilang.
Kemudian muncul lagi: sebagai awal bulan baru.
Begitulah bulan.
Siklus yang tak pernah lelah.
Hal ini juga dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 189:
“Yas’aluunaka ‘anil-ahillah. Qul hiya mawaaqiitu linnaasi wal-hajj…”
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: itu adalah penanda waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji…”
Lalu, kenapa sabit terbalik itulah yang dipilih sebagai simbol Serambi Cahaya?
Sebabnya: pada dini hari 21 November 2000,
langit menampakkan sabit yang serupa. Di Stania Raya — istilah meniru-niru Britania Raya.
Sabit menghadap kiri.
Sedikit lebih tebal dari yang tampak Rabu lalu.
Itu menurut aplikasi Stellarium.
Waktu itu, kalender Hijriah menunjukkan:
24 Sya’ban 1421 H. Tanggal di sekitar masa Mandi Belimau. Uapacara adat, menyambut tamu agung: Romadon.
Dan siang harinya?
Hari penting.
Hari kelahiran Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Satu peristiwa.
Satu bentuk.
Satu langit.
Semua terhubung.
Maka sabit di bendera bukan sekadar hiasan.
Ia adalah penanda.
Saksi langit.
Simbol sejarah.
Dan cahaya.
Yang membawa makna.
Mungkin, kelak, setiap tanggal 24 bulan hijriah, Serambi Cahaya dikibarkan. Sebagaimana Merah Putih, di setiap tanggal 17 bulan masehi.
Bedanya, mungkin pengibarannya pasca Maghrib. Diturunkan Maghrib berikutnya.
Aneh, kata banyak orang? Mungkin juga!
Tapi toh, banyak yang lebih aneh. Misalnya, cara jalan Paskibra zaman “now”. Langkah kanan, nyaris “bareng” ayunan tangan kanan. Aok dak?