Bagian 4
Kecantol Si Kembar
SUASANA kantin semakin ramai, sebab saat ini memang sudah jam makan siang. Hampir semua kursi di kantin terisi, suara semakin berisik. Tak hanya suara obrolan, namun suara benturan sendok, piring dan gelas semakin jelas terdengar. Rasa lapar pengunjung kantin membuat benturan sendok terdengar keras.
Sena datang menghampiri Aku dan Ucup. Kemudian kami menuju masjid kampus untuk melakukan salat Zuhur. Adzan sudah dikumandangkan saat kami tiba di depan masjid, tanpa membuang waktu kami langsung antre mengambil air wudhu.
Kali ini tak lagi sempat untuk menjalankan salat sunnah qabliyah, sebab setelah selesai mengambil air wudhu iqomah sudah dikumandangkan. Kami berdiri mengisi saf kosong untuk siap-siap menjalankan salat Zuhur.
Biasanya kami istirahat di masjid setelah melakukan salat. Namun kali ini Sena mengajak Aku dan Ucup untuk segera beranjak.
“Ayo, Aku ada janji sama seseorang,” kata Sena mengajak Aku dan Ucup untuk segera beranjak. Tanpa banyak tanya kami mengikuti langkah Sena dan kemudian berjalan beriringan. Tak banyak perbincangan, namun Sena sempat mengingatkan Aku dan Ucup agar siap-siap mendapatkan kejutan.
Tak jauh dari tempat kami berjalan, terlihat lima mahasiswa sedang duduk berteduh di bawah rindangnya dedaunan pohon beringin. Sena mengajak Aku dan Ucup untuk menghampiri sejumlah mahasiswa tersebut. Ternyata di sana telah menunggu Rio bersama konconya. Tanpa ada rasa gentar Sena menghampiri.
“Sini kamu,” panggil Rio. Sena mendekati kemudian Aku dan Ucup mengikuti. Tak lagi bicara Rio melayangkan bogem mentahnya. Namun gerakan Rio sudah dibaca Sena, sehingga dengan mudah Sena mengelak dan balas mendorong tubuh Rio hingga hampir terjerembab ke tanah.
Lagi, Rio berbalik dan menyerang Sena. Namun kali ini Sena sedikit memberikan perlawanan. Tubuh Rio dibuat jatuh setelah kaki Sena menghalangi langkahnya. Melihat kondisi ini, teman-teman Rio ingin bergerak membantu. Rio bersikap jantan, ia menghalangi langkah teman-temannya untuk membantu.
Setelah kembali berdiri, Rio melanjutkan serangan. “Plaakkk,” tangan Sena menghantam wajah Rio dengan telak. Ini membuat tubuh Rio sempoyongan. Tampak darah segar mengalir dari hidungnya.
Teman-teman Rio yang semakin geram langsung menyerang Sena. Belum sempat Aku dan Ucup membantu, hampir semua teman Rio seakan terpental. Sena memang benar-benar menguasai situasi. Langkah teman-teman Rio sudah dibacanya, sehingga dengan mudah bisa menjatuhkan lawan. Sena kemudian melarang saat kami hendak memanfaatkan kesempatan ini untuk menghajar teman Rio yang sudah sempoyongan.
“Sudah ya, jangan diteruskan,” kata Sena mengingatkan Rio dan teman-temannya. Kemudian Sena dengan menarik tanganku dan Ucup segera pergi meninggalkan Rio.
Kami berjalan santai menuju kos-kosan. Tampaknya Rio dan teman-temannya menjadi keder setelah melihat dan merasakan langsung aksi Sena. Tak ada lagi upaya menyusul, apalagi kembali melakukan perlawanan. Setiba di kos-kosan kami berbincang membicarakan kejadian perkelahian tadi.
“Kita mesti lebih hati-hati. Setelah kejadian ini mungkin ada kejadian yang tak kita duga sama sekali. Kalau bisa, jika ingin keluar selalu bersamaan. Sehingga bisa saling menjaga,” saran Sena. Tentunya, kali ini bukan hanya Sena yang menjadi incaran Rio dan teman-temannya. Sebab keberadaan Aku dan Ucup di lokasi kejadian bisa menjadi penyebab target lawan.
Usai membersihkan tubuh, kami kemudian merebahkan diri di kasur masing-masing. Tampak Sena merasa lebih lelah, sebab perkelahian siang tadi membuat tenaganya terkuras. Sena sudah terlihat tertidur pulas, sedangkan Aku dan Ucup masih asyik berselancar menggunakan smartphone hingga tengah malam. Namun tak lama berselang, terdengar suara benda keras jatuh menimpa kepala Ucup.
Ucup mengerang kesakitan, smartphone yang semula digenggamnya jatuh menimpa kepala. Rasa kantuk sudah tak bisa dibendung, Ucuppun meletakkan smartphone dan melanjutkan tidur. Akupun mulai merasakan lelah dan tak kuasa menahan kantuk. Kini sudah saatnya untuk memejamkan mata.
Suara azan subuh berkumandang, Sena dan Ucap telah siap untuk berangkat ke masjid. Sementara Aku masih tergopoh-gopoh membersihkan diri untuk berangkat ke masjid. Agar tak ketinggalan salat berjamaah, kamipun sedikit berlari menuju masjid. Inginnya, saat tiba di masjid masih bisa melakukan salat sunnah terlebih dahulu.
“Alhamdulillah,” kata Ucup setelah sampai ke masjid masih banyak jemaah melakukan salat sunnah. Kami lalu bergegas memulai salat dengan mencari posisi di sela-sela jemaah.
Setelah menyelesaikan salat sunnah, terdengar suara iqomah dan semua jamaah maju mengisi dan merapatkan saf. Salat Subuh kali ini lebih sepi dari biasanya, terlihat hanya jemaah dari pengurus masjid dan beberapa orang remaja yang rumahnya berdekatan dengan masjid.
Seperti biasanya, setelah selesai salat tak langsung meninggalkan masjid. Selain berdzikir dan berdoa, tak jarang kami bersilaturahmi dengan bapak-bapak pengurus masjid. Sehingga kami bertiga cukup dikenal, dan jika di antara kami tak salat berjamaah kerapkali ditanya oleh Pak Cipto, imam sekaligus ketua pengurus masjid.
“Eee… Nak, belum pada mau balik ke kos-kosan,” tanya Pak Cipto menghampiri kami bertiga yang masih duduk di beranda masjid.
“Belum Pak, sekalian kalau pulang ke kos-kosan mau mampir dulu ke tempat penjual bubur ayam. Kalau sekarang, Akang penjual buburnya belum buka,” jawabku memberikan penjelasan.
“Iya…iya….iya. Kalau begitu Bapak pulang duluan ya,” kata Pak Cipto selanjutnya melangkahkan kaki menuju ke rumah. Namun belum begitu jauh, terlihat ia kembali lagi ke arah kami bertiga.
“Oh iya, kebetulan kemarin Bapak baru panen singkong. Biasanya ibu goreng singkong untuk sarapan teman ngopi. Gimana kalau kalian mampir ke rumah Bapak, kita ngopi sambil makan singkong,” ajaknya. Ajakan ini membuat wajah Ucup senang. Terlihat senyum sumringah di bibirnya.
“Boleh Pak, mau ya,” jawab Ucup seraya menoleh ke arahku dan Sena meminta persetujuan. Aku dan Sena hanya bisa menganggukan kepala, sebab tak enak untuk menolak ajakan ketua masjid.
Kami selanjutnya berjalan beriringan. Jarak rumah Pak Cipto dengan masjid tak jauh, sehingga setelah berjalan sebentar kami sudah memasuki pekarangan rumahnya. Pak Cipto mempersilakan kami duduk di kursi teras rumah, sementara Pak Cipto mengucapkan salam dan masuk ke dalam rumah.
Terdengar suara lembut menjawab suara Pak Cipto. Sepertinya pemilik suara bukan istrinya, sebab terdengar layaknya suara remaja. Namun kami tak bisa melihat siapa pemilik suara ini. Sebab sebelum mendongak ke arah pintu, Pak Cipto telah lebih dulu menutup kembali pintu yang sempat terbuka. Kami hanya saling memandang, penuh tanda tanya di dalam otak kami.
Rasa penasaran tetap menghantui Ucup. Ia tampaknya tidak puas dan akhirnya menanyakan langsung saat Pak Cipto sudah duduk di antara kami. “Tadi itu siapa Pak?” tanya Ucup.
“Yang mana?” tanya Pak Cipto dan langsung dijelaskan kembali oleh Ucup. “Itu Pak, yang tadi menjawab salam Bapak,” kata Ucup dan membuat Pak Cipto menganggukkan kepala.
“Ooo, itu Rini. Anak bungsu saya,” kata Pak Cipto. Baru sekitar lima menit kami bercengkrama, nampak sosok perempuan cantik menghampiri seraya membawa baki berisi empat gelas kopi hangat. Satu persatu gelas kopi itu diletakkan di atas meja.
“Silahkan,” kata Pak Cipto mengajak kami mencicipi kopi buatan Rini. “Singkong gorengnya mana?” tanya Pak Cipto kepada Rini. “Iya Ayah, lagi digoreng. Bentar lagi juga beres,” ucapnya sangat santun. Setelah mendapatkan izin Pak Cipto, kamipun langsung menyeruput kopi hangat tersebut.
Lega dan menghangatkan saat air kopi membasahi tenggorokan. Belum lagi sempat berpikir untuk mengunyah goreng singkong, suara pintu terbuka kembali terdengar. Kini gadis yang sama keluar membawakan sepiring singkong goreng. Namun kami sempat bertanya, sebab pakaian yang digunakan berbeda dari sebelumnya.
“Terima kasih Rini,” kata Ucup usai singkong goreng terhidang di atas meja.
“Kalau ini bukan Rini. Ini Rina adiknya Rini. Mereka kembar,” kata Pak Cipto. Rina hanya senyum melihat Ucup yang salah tingkah.
“Oooo, kembar ya Pak?” tanya Ucup. Pak Cipto menjawab dengan menganggukan kepala.
“Jangankan kamu, orang yang biasa ke sini saja masih bingung ketika melihat anak kembar saya itu,” ungkapnya.
“Iya Pak, cantik,” kata Ucup yang memicu keanehan dalam obrolan kami. Sebab sejak awal, Pak Cipto tidak pernah mengatakan anaknya cantik. Melihat reaksi Pak Cipto membuat Ucup menjadi salah tingkah. Aku dan Sena hanya bisa tersenyum menyaksikan sikap Ucup.
Ngobrol dengan Pak Cipto sangat mengasyikkan dan kami tak sadar matahari sudah semakin meninggi. Akhirnya kamipun minta izin untuk pulang dan disambut senyuman Pak Cipto.
“Iya, lain kali main kembali ke rumah Bapak. Kita ngobrol lebih banyak,” kata Pak Cipto. Ini tentunya menjadi peluang baik bagi Ucup. Tampak wajah senangnya mendengarkan tawaran dari Pak Cipto tersebut.
“Boleh ya Pak,” kata Ucup menimpa perkataan Pak Cipto. Mendengar celotehan Ucup, selanjutnya Pak Cipto mengacungkan jempol.
“Boleh-boleh,” tegasnya. Kini Pak Cipto sudah banyak mengetahui tentang kami, mulai dari daerah tempat kami berasal hingga mengenai keluarga kami. Tak ada yang kami tutup-tutupi saat bercerita dengan Pak Cipto.
Saat perjalanan menuju ke kosan, Ucup kerapkali memuji kebaikan dari Pak Cipto. “Enak ya ngobrol dengan Pak Cipto, lain kali kita mampir lagi ya,” kata Ucup mengajak Aku dan Sena.
“Kamu mau ngobrol sama Pak Cipto atau mau bertemu dan melihat anaknya,” kataku menegaskan lalu disambut tawa Sena.
“Eiiiit, kalau mau, kamu aja sendiri,” kataku menggoda Ucup. Mendengar perkataanku ini membuat Ucup diam, sepertinya ucapanku dianggapnya serius.
“Iya Cup, kami temenin nanti kamu ke rumah Pak Cipto,” kataku langsung disambutnya gembira. Hari ini Ucup lebih semangat dari biasanya. Anak kembar Pak Cipto telah memberikan motivasi untuk menjalankan aktivitas hari ini.
Jam baru menunjukkan pukul 17.00 wib, namun Ucup sudah terlihat siap untuk berangkat ke masjid. Mengenakan pakaian muslim berwarna putih dipadu dengan kain ungu membuat penampilannya kali ini sangat menawan. Langkahnya mondar-mandir di ruangan tengah kos-kosan membuat Sena terganggu.
“Lagi ngapain kamu Cup,” tanya Sena yang sudah mulai terganggu.
“Ayo kita berangkat ke masjid,” ajaknya menjawab pertanyaan Sena.
“Masih lama Cup, setengah jam lagi baru kita berangkat,” kata Sena yang juga sudah mulai mempersiapkan diri untuk ke masjid.
“Kenapa kamu kok ingin sekali cepat sampai ke masjid,” kataku penuh tanda tanya melihat perilaku Ucup kali ini.
“Biar kita bisa salat sunnah, selanjutnya berdzikir jika ada waktu,” kata Ucup membuat alasan. “Benar apa gak Cup,” tanyaku meyakinkan dan dijawab Ucup hanya dengan senyuman.
“Ayolah Ri, benar juga yang dikatakan Ucup,” jelas Sena kemudian direspon senyuman bangga Ucup. Aku tak lagi membantah dan kemudian mengikuti langkah teman-temanku keluar kosan menuju masjid. Langkah Ucup sangat cepat, sehingga kami sedikit ketinggalan mengikuti langkahnya.
Ucup sudah tak sabar untuk segera sampai ke masjid. Saat berada di halaman masjid, mata Ucup melihat ke kiri dan kanan seperti sedang mencari sesuatu. Namun yang dicarinya tak tampak, iapun kemudian menuju ke tempat wudhu.
“Cup, bukannya tadi di kosan kamu sudah wudhu,” kataku mengingatkannya.
“Iya, wudhu lagi,” jawabnya singkat. Sementara Aku dan Sena langsung masuk masjid meninggalkan Ucup yang masih di luar. Tak lama kemudian, apa yang diharapkan Ucup datang. Si Kembar anak Pak Cipto memasuki halaman masjid. Ucup tak berani menyapa, sebab kedua gadis remaja tersebut berjalan beriringan dengan Ibunya.
Bisa melihat dari kejauhanpun sudah menjadi kesenangan tersendiri bagi Ucup. Langkah kaki Ucup memasuki masjid dan mengambil saf bagian terdepan. Ia ingin mendapatkan perhatian dari Pak Cipto yang memang selalu berada di saf paling depan. Jarak antara Ucup dan Pak Cipto tak terlalu jauh, kendati demikian Ucup tak mendapatkan perhatian dari Pak Cipto.
Tangan Pak Cipta sibuk memetik tasbih, dari mulutnya tak henti mengucapkan kalimat mengangungkan Allah. Usai salat, Aku, Ucup dan Sena tak langsung kembali ke kosan. Sebab seperti biasanya, kami menunggu hingga usai salat Isya untuk pulang. Aku dan Sena mengaji, sementara Ucup berdzikir mengisi waktu.
Usai salat Isya, jemaah mulai beranjak meninggalkan masjid. Aku dan Sena juga sudah berada di tangga masjid. Namum kami belum beranjak meninggalkan masjid, sebab masih ingin menunggu Ucup.
“Kenapa Ucup belum juga keluar,” tanyaku sambil menolehkan kepala ke arah Sena.
“Coba Aku lihat ke dalam,” kata Sena langsung kembali masuk ke dalam masjid. Sena terkejut, sebab orang sedang kami tunggu ini asyik lagi ngobol sama Pak Cipto. Tak tahu apa yang diobrolkannya. Sambil berjalanan mendekati, Aku mengajak Ucup untuk segera pulang seraya meminta izin Pak Cipto.
“Ayo Cup,” ajakku yang semakin dekat dengan posisi mereka duduk.
“Ya…, silahkan,” kata Pak Cipto membolehkan kami untuk pulang lebih duluan. Pak Cipto masih belum meninggalkan masjid untuk melanjutkan ibadah. Memang Pak Cipto selalu pulang terakhir dari masjid.
“Lagi ngomongin apa Cup,” tanyaku dengan serius.
“Ada aja,” jawab Ucup membuat kesalku dan Sena. Aku menjadi penasaran, begitu juga Sena. Namun ia tak memperlihatkan reaksi berlebihan.
“Tadi Aku tanya-tanya mengenai anak-anak Pak Cipto. Ternyata Pak Cipto mempunyai tiga orang anak. Satu laki-laki dan dua perempuan,” jelas Ucup.
“Namun anak laki-laki Pak Cipto sudah meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kejadiannya sudah lama, ketika itu Rina dan Rini masih kecil. Kini Rina dan Rini sudah kelas tiga SMU, sebentar lagi akan meneruskan kuliah.
Ucup banyak mengetahui kondisi keluarga Pak Cipto. Namun untuk mendekati anak gadisnya masih sulit, sebab Rina dan Rini jarang keluar rumah selain ke sekolah. Itupun kerapkali di antar Pak Cipto menggunakan mobil. Ucup tak putus asa, sebab jika bisa mengambil hati Ayahnya, tentu akan lebih mudah menarik perhatian anaknya.
Sebelum sampai ke kosan, kami terlebih dahulu mampir di warung penjual kudapan. Aku dan Sena memesan semangkuk bubur kacang hijau ditambah masing-masing sepotong roti tawar. Sementara Ucup tetap dengan makanan favoritnya yakni, mie instan.
“Nanti bakal semakin rajin ke masjid ni,” Aku coba menggoda Ucup.
“Sering ke masjidkan baik,” kata Ucup menyampaikan pembelaan. Ucapnya kali ini ada benarnya, Si Kembar menjadi salah satu motivasi untuk beribadah di masjid.
“Kamu sukanya sama Rina atau Rini,” tanyaku membuat bingung Ucup.
“Untuk membedakan mereka saja Aku tidak tahu, tapi mereka berdua sama-sama cantik,” jelasnya.
***
Semakin hari, Ucup semakin dekat dengan Pak Cipto. Bahkan Ucup sudah diberikan kepercayaan untuk menjadi bilal. Menjadi bilal tak perlu diragukan, sebab suara Ucup sangat bagus jika sedang melantunkan adzan. Hal tersebut membuat Pak Cipto senang.
Aku dan Sena mulai tak bisa mengikuti ritme Ucup beribadah di masjid. Uniknya, walaupun sedang berada di kampus, Ucup akan segera kembali ke kosan untuk bisa salat di masjid dan berjemaah bersama Pak Cipto. Padahal ada banyak masjid dilewati dalam perjalanan dari kampus ke kosan.
Biarkanlah, selama perbuatan itu baik, kami akan selalu memberikan dukungan ke Ucup. Mungkin sudah lebih dari dua bulan Ucup melakukan aksinya. Namun selama itu, belum sekalipun bisa ngobrol dengan anak kembarnya Pak Cipto. Sebenarnya Pak Cipto tidak melarang, namun memang kesempatan itu belum datang.
Lama menunggu tak membuat upaya Ucup menyerah. Suatu ketika Pak Cipto sedang tak enak badan, sementara si Kembar minta dijemput di sekolahnya.
“Kriiing…,” terdengar suara handphone Ucup. Setelah diangkat, ada suara yang tak asing dari seberang.
“Nak Ucup lagi dimana, bisa bantu Bapak,” tanya Pak Cipto.
“Lagi di kosan Pak, apa yang bisa Ucup bantu,” katanya cepat tak ingin kehilangan kesempatan.
“Bapak minta tolong kamu jemput Rina dan Rini di sekolah. Nanti Ucup ke rumah Bapak, ambil mobil ya,” kata Pak Cipto.
“Iya Pak, sebentar lagi saya mampir ke rumah,” kata Ucup. Tanpa ingin kehilangan kesempatan, Ucup bergegas langsung menuju rumah Pak Cipto. Ia tak ingin Si Kembar menunggu lama di sekolah.
Lama Ucup sudah menunggu di depan sekolah, Si Kembar belum juga menghampirinya. Ucup berangkat buru-buru, sehingga lupa meminta nomor kontak anaknya Pak Cipto. Belum hilang bingungnya, Ucup melihat dua sosok wanita cantik yang mirip menghampirinya.
“Silahkan naik Neng,” kata Ucup menyapa kedua anak Pak Cipto tersebut. Salah satu dari mereka duduk di depan. Untung Ucup sempat melihat papan nama di baju seragam, sebelum anak Pak Cipto itu masuk ke dalam mobil.
“Rina, Bapak meminta saya menjemput kalian,” kata Ucup menjelaskan keberadaannya.
“Iya… terimakasih Kang Ucup,” kata Rina menjawab seraya memperlihatkan senyum manisnya. Ucup berusaha tidak memperlihatkan rasa kagum terhadap kecantikan anak Pak Cipto ini. Ia langsung menginjak gas mobil secara perlahan dan membuat mobil melaju di antara keramaian Kota Kembang.
Dikarenakan belum akrab, tak banyak yang dibicarakan Ucup saat menjemput Si Kembar. Begitu juga Rina dan Rini, sepanjang jalan hanya sibuk dengan gadgetnya. Ucup memaklumi, sebab ini merupakan kesempatan pertama bersama anak kembar Pak Cipto.
“Bapak sakit apa ya?” tanya Ucup memecah keheningan di dalam mobil.
“Katanya, kepala Bapak lagi pusing, sehingga merepotkan Kang Ucup,” jawab Rina mencoba menggoda Ucup.
“Nggak, saya gak repot. Lagi pula kebetulan saya hari ini sedang tidak ada kuliah,” kata Ucup meyakinkan.
Terasa sangat cepat, kini mobil sudah berada di depan pagar rumah Pak Cipto. Rina segera turun membukakan pintu pagar, kemudian Ucup memarkir mobil di samping rumah.
“Mampir dulu Kang,” ajak Rina.
“Iya, sekalian mau lihat kondisi Bapak,” jawab Ucup. Tentunya ini yang diharapkan Ucup, bisa berlama-lama di rumah Pak Cipto.
“Terimakasih Nak Ucup,” sapa Pak Cipto dari dalam rumah dan sedang menuju ke arah Ucup.
“Iya Pak, bagaimana keadaan Bapak. Apa perlu saya antar untuk berobat ke rumah sakit,” ucap menawarkan diri.
“Tidak perlu, Bapak sudah agak sehat. Tadi emang sempat pusing. Maklum sudah mulai tua,” jelasnya. Tak baik berlama-lama, ia tak ingin mengganggu waktu istirahat Pak Cipto.
“Pak saya izin pamit balik ke kosan,” kata Ucup. Belum mendapatkan jawaban dari Pak Cipto, dari dalam rumah istri Pak Cipto langsung menyapa ramah.
“Terima kasih ya Nak, ini ada sedikit makanan untuk dibawa pulang,” kata Bu Cipto seraya menyerahkan bungkusan.
“Apa ini Bu,” tanya Ucup berbasa-basi. Bu Cipto hanya menjelaskan dengan senyum yang terlukis di wajahnya. Dari dalam rumah sempat kulihat langkah Rina hendak menuju ke arah kami berdiri, namun tak tahu kenapa langkah itu berhenti dengan sebelum mendekati kami.
Belum sampai di depan pintu kosan, Ucup sudah mengucapkan salam. Terlihat ia lagi senang, Aku dan Sena hanya mengamati tingkahnya tersebut sambil menunggu penjelasan. Ucup bukannya memberi penjelasan, malah langsung merebahkan badan di atas kasus miliknya.
“Itu, ada makanan dari calon mertua,” kata Ucup singkat.
“Siapa Cup,” tanyaku ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
“Calon mertua, Pak Cipto,” kata Ucup dengan bangga. Kami hanya melongo mendengar penjelasan Ucup seakan tidak percaya. Tangan Sena membuka perlahan bungkusan yang dibawa Ucup, tampak di dalam kotak ada singkong goreng bumbu seperti yang pernah kami makan di rumah Pak Cipto. Aku dan Sena menganggukan kepala memberi tanda percaya atas perkataan Ucup.
“Ini lebih enak dimakan jika ditemani dengan kopi,” kata Sena lalu berangkat menuju ke dapur untuk membuat kopi.
“Kalian mau kopi gak?” tanyanya. Aku dan Ucup menganggukkan kepala. Sena membuat tiga gelas kopi panas untuk menemani kudapan dari Bu Cipto. Selama kami menikmati singkong goreng tersebut, Ucup tak henti-hentinya membanggakan diri.(bersambung)