Bagian 2
Pertemuan Terbaik
LANGIT berwarna keemasan, matahari mulai bersembunyi di ufuk barat ketika kami melintasi Jalan Buah Batu. Hujan baru saja selesai membasahi bumi, tinggal genangan air dan dedaunan berhamburan di jalanan akibat terpaan air hujan. Warna merah bunga Flamboyan yang berguguran menambah keindahan suasana sore itu.
Aku, Sena dan Ucup berjalan bersama menuju kosan. Sebenarnya sejak siang tadi kami sudah tidak ada mata kuliah yang harus diikuti, namun karena tidak ada yang bisa dikerjakan di kos-kosan maka kami lebih suka dan selalu menghabiskan waktu di kampus.
“Ri, gimana kalau kita langsung ke warung makan. Jadi nanti malam tak susah lagi untuk mencari makanan,” kata Ucup mengajak ke salah satu warung favorit kami. Warung makan Bu Sri banyak dikunjungi mahasiswa, terutama mahasiswa rantauan. Sebab harga makanan di warung ini sangat bersahabat.
Cukup uang Rp10 ribu sudah bisa makan kenyang dengan lauk bergizi. Selain itu, bagi mahasiswa pelanggan, bisa menunda pembayaran alias utang sampai uang kiriman datang. Perlakuan spesial ini membuat warung Bu Sri menjadi favorit kalangan mahasiswa.
“Ok, boleh saja,” kataku mengiyakan. Lalu mataku melihat ke arah Sena bermaksud untuk mendapatkan persetujuannya. Sena hanya diam tak memberikan tanggapan apapun.
“Gimana Sen, mau gak kalau kita langsung makan. Setelah itu baru pulang ke kosan,” tanyaku memastikan.
“Ok,” jawab Sena. Namun jawaban ini nampak kurang bersemangat, seperti ada sesuatu yang mengganjal untuk mengikuti ajakan Aku dan Ucup. Tampak Ucup juga memberi penilaiaan sama.
“Mau gak Sen,” kata Ucup menegaskan seraya menepuk pundak Sena.
“Ok…ok…, Aku ikut saja,” jawabnya singkat.
Akhirnya kami bertiga memutuskan untuk mampir, makan dulu sebelum pulang ke kosan. Warung Bu Sri sudah dipenuhi mahasiswa yang juga ingin makan. Walau tidak perlu antre mengambil makanan, namun kami harus mencari-cari tempat duduk. Sebab hampir semua tempat di warung sudah terisi.
Akhirnya Aku, Sena dan Ucup mendapatkan tempat duduk untuk menyantap makanan yang sudah ada di piring. Namun karena kondisi warung yang ramai, kami harus duduk secara terpisah. Kebetulan tempatku duduk dekat dengan rombongan BEM universitas.
Tak disengaja Aku mendengarkan percakapan mereka yang mengisahkan hubungan antara Rio dan Ririn mulai renggang. Ririn mulai menjauhi Rio dikarenakan ada mahasiswi baru yang kerapkali berjalan bersama Rio. Ririn merasa tidak senang, bahkan dikabarkan Ririn akan mundur dari kepengurusan BEM.
Aku terus menyantap makanan yang ada di piring, seraya menguping percakapan mahasiswa yang ada di sebelahku.
“Ini kesepatan buat Sena mendekati Ririn,” gumamku dengan sedikit menoleh ke arah Sena. Kulihat Sena sedang asyik menyantap makanannya, begitu juga dengan Ucup. Sehingga tidak memperhatikan ketika Aku menatap ke arah mereka.
“Ah… biarlah. Nanti ini akan menjadi informasi menarik bagi Sena,” gumamku. Makanan di piring sudah bersih, air yang disediakan Bu Sri sudah diminum sampai tak tersisa. Lalu Aku mendatangi meja kasir untuk membayar makanan.
“Berapa,” tanyaku. Tepat di belakangku berdiri Sena dan Ucup yang juga mengantre untuk membayar.
“Sepuluh ribu,” kata Teteh Ning petugas kasir warung Bu Sri.
“Sekalian Bu, hitung juga punya dua teman saya ini,” kataku seraya menoleh ke belakang. Sena dan Ucup tampak senang mendengar ucapanku tadi.
“Jadi 30 ribu,” kata Teteh Ning. Aku mengeluarkan uang senilai Rp50 ribu lalu memberikan kepada Te Ning. Uang segera diambil lalu ia memberikan uang kembalian.
“Terimakasih,” kata Te Ning lalu kami langsung kami acungkan jempol ke arahnya.
***
Hampir setiap malam suasana di kos-kosan kami selalu sepi. Kami menyewa satu rumah ukuran kecil, namun cukup untuk tempat tinggal kami bertiga. Tidak alat elektronik yang kami miliki selain smartphone. Jadi hari-hari ketika sedang berada di kosan hanya diisi dengan bermain game atau browsing.
Malam ini akan berbeda, sebab Aku mendapatkan informasi bagus ketika berada di warung makan Bu Sri tadi untuk menjadi obrolan kami bertiga. Sena tampak masih sibuk dengan smartphone, begitu juga dengan Ucup. Sambil merebahkan tubuh di atas kasur, mereka asyik berselancar menggunakan smartphone.
“Sena, Ucup… Aku punya informasi menarik,” kataku membuka pembicaraan. Namun kata-kataku masih belum mendapatkan perhatian mereka. Akhirnya Aku mengulangi untuk membuka obrolan.
“Sewaktu di warung makan Bu Sri tadi, Aku mendengarkan informasi mengenai Rio dan Ririn,” ucapku. Kali ini Sena dan Ucup hampir bersamaan melepaskan tatapan mereka dari smartphone dan mengalihkan pandangan ke arahku.
Ternyata ketika Aku sebut nama Rio dan Ririn, mereka langsung fokus untuk mendengarkan kelanjutan ceritaku. Sekarang giliranku yang berpura-pura cuek berjalan ke dapur untuk memasak air. Kayaknya kurang enak kalau ngobrol tanpa ditemani dengan secangkir kopi.
Rasa penasaran memuncak Sena dan Ucup membuat mereka menyusulku ke dapur. Mereka berharap agar Aku segera menyelesaikan obrolan yang Aku buka tadi. Aku tersenyum melihat tingkah kedua sahabatku kali ini.
“Tunggu saja dulu di ruangan tengah, kita lanjutkan obrolan setelah Aku selesai menbuat kopi,” kataku mengarahkan.
“Kalian mau ngopi juga,” aku menawarkan untuk membuatkan kopi. Mendengar tawaranku ini langsung disambut dengan anggukan, lalu mereka beranjak pergi meninggalkanku kembali ke tempat semula.
“Tok…tok…tok…,” terdengar suara ketokan penjual makanan melintas di gang depan tempat tinggal kami.
“Kang…,” sapa Sena memanggil tukang penjual makanan tersebut.
“Ada gorengan apa saja Kang,” tanya Sena.
“Ada pisang goreng, ubi, cireng dan banyak lagi Bang,” jawabnya. Sena lalu beranjak melihat gorengan yang ada di gerobak. Beberapa gorengan dipilih dan dimasukan ke dalam kantong terbuat dari kertas.
“Berapa Kang?” tanya Sena. Akang penjual gorengan tersebut kemudian menghitung jumlah makanan yang ada di dalam kantong.
“Sepuluh ribu,” katanya. Lalu Sena mengeluarkan selembar uang Rp10 ribu dan diberikan kepada penjual gorengan.
“Terimakasih Kang,” kata Sena dan langsung dijawab “Iya Bang, sama-sama”.
Kini lengkap sudah teman obrolan kami, ada kopi dan ada juga gorengan. Tak lama berselang Aku membawa tiga gelas kopi panas mendekati Sena dan Ucup. Mereka sudah mulai melahap gorengan tersebut, masih hangat, pas untuk mengusir dinginnya malam.
“Begini, kabarnya hubungan Rio dengan Ririn sedang bermasalah. Karena ada mahasiswi baru sering menemui Rio. Hal ini membuat Ririn tidak senang,” jelasku.
Mata Sena tampak berbinar menunjukan ia sedang gembira. “Jadi gimana,” kata Sena.
“Gimana apanya,” balasku. Sena hanya tersenyum karena bermaksud minta dukungan Aku dan Ucup agar ia bisa mendekati Ririn. Sebagai sahabat, kamipun memberikan dukungan tersebut.
“Ini kesempatan buat kamu Sen,” kataku yang disetujui Ucup.
“Kami siap menjadi tim sukses,” kata Ucup melemparkan guyonan.
“Apa yang harus Aku lakukan,” tanya Sena. Lama kami berpikir dan akhirnya Ucup memecahkan keheningan.
“Kamu hubungi saja Ririn, kamukan punya nomor kontaknya,” saran Ucup.
“Iya….,” kata Sena seraya membuka smartphone dan mencari di bagian kontak. Setelah dicari, muncul nama Ririn di smartphone Sena. Terlihat senyum sumringah menghiasi bibirnya.
“Tuttt..tuttt…tuttt,” terdengar suara nada panggilan, namun tak ada jawaban. Setidaknya sudah tiga kali Sena mencoba menelepon, tapi tetap saja tak ada jawaban. Senyuman yang tadi mengambang di bibir Sena kini menghilang. Ia termenung dan menatap kami dengan tatapan kosong.
“Tenang saja Sen, mungkin Ririn sudah tidur. Lebih baik kamu hubungi via WhatsApp saja. Jadi sewaktu Ririn membuka smartphonenya, bisa membalas,” ujarku memberikan saran.
Saran ini langsung dilakukan dan pesan via WhatsApp dikirimkan. Lagi-lagi belum ada jawaban. Kini Sena hanya bisa berharap agar pesannya dibaca dan dibalas. Kamipun kembali melanjutkan obrolan, beberapa strategi untuk mendekati Ririn disampaikan Ucup.
Kali ini Sena hanya menjadi pendengar yang baik. Semua saran kami didengarkannya dengan memberikan respon anggukan kepala. Tanpa kami sadari, waktu sudah menunjukan pukul 00.00 WIB. Mata mulai mengantuk dan Aku tertidur.
“Ting…,” suara pesan WhatsApp masuk. Sudah dini hari namun Sena belum juga bisa tidur pulas. Iapun langsung mengambil smartphone miliknya. Terlihat ada pesan masuk dari Ririn.
Mata Sena melihat waktu pesan masuk yang tertera di aplikasi WhatsApp dan menunjukkan pukul 02.00 WIB.
“Kabar baik, ada perlu apa,” kata Ririn membalas pesan Sena. Menerima pesan ini membuat mata Sena semakin tak bisa tidur. Rasa kantuk yang sempat menghampiri, kini menghilang.
“Gak, ingin tanya kabar saja. Kok balas pesannya dini hari,” kata Sena.
“Ya saya bangun salat tahajud. Melihat hp ada pesan dari kamu,” jawabnya.
“Kamu belum tidur atau baru bangun tidur,” tanya Ririn melanjutkan obrolan. Sena terlihat bingung mau bilang apa.
“Saya lagi ngerjain tugas, jadi belum tidur sampai malam,” kata Sena mencoba berbohong. Padahal tak satu tugaspun yang ia kerjakan malam ini.
“Udah dulu ya,” balas Ririn dan dijawab Sena dengan emoji jempol.
Malam ini menjadi milik Sena. Ia senang bukan kepalang, harapan yang ditunggu akhirnya datang. Sena meletakkan smartphone dan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Malam ini Sena menjalani salat tahajud sebagai rasa syukur.
***
Udara sejuk masuk ke kamar tidur, ternyata Sena yang sudah bangun lebih pagi telah membuka pintu dan jendela. Tak biasanya Sena bangun sepagi ini, apalagi di hari Minggu. Suasana tampak ceria, MP3 di smartphone dibunyikan dengan volume tinggi, sehingga suara musik mengisi seluruh ruangan.
“Masih pagi Sen,” kataku menyapa Sena yang kelihatannya sudah mandi.
“Sudah jam tujuh ni, ayo kita joging di taman,” ajaknya. Ucup ikut terbangun mendengarkan obrolan kami.
“Ayo kita olahraga di taman,” ulang Sena seraya menghadapkan pandangan ke arah Ucup. Namun Ucup masih saja memanjakan tubuhnya di atas kasur empuk.
Setelah beberapa saat, harum kopi menusuk hidung. Ternyata Sena sudah membuatkan tiga gelas kopi, tentunya untuk kami bertiga. Tanpa basa-basi lagi, Aku bangun diikuti Ucup yang langsung ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Sekembali ke kamar, satu teguk kopi hangat mengusir dinginnya pagi Kota Kembang. Sekitar 15 menit kami menikmati kopi, Sena kembali mengajak untuk olahraga ke taman. Akhirnya Aku dan Ucup mengikuti keinginan Sena. Karena jarak taman dan kos-kosan cukup jauh, kami harus menggunakan angkot.
Uang receh senilai Rp3 ribu diserahkan Sena kepada sopir angkot. Lalu kamipun berjalan mengelilingi taman. Setelah merasa lelah, kami duduk di sebuah kursi di pinggir taman. Banyak penjual makanan di tempat kami duduk, Sena kemudian memesan kacang rebus.
Sesekali tangan mengambil kacang rebus sambil melihat orang-orang lalu lalang berolahraga di taman. Tak sengaja mata Ucup menatap tajam pada sosok wanita cantik yang berada tak jauh dari tempat kami duduk.
“Itukan Ririn,” kata Ucup sambil menarik tanganku dan Sena untuk melihat ke arah pandangannya. Aku dan Sena mengikuti keinginan Ucup, ternyata benar sosok tersebut Ririn wanita idaman Sena. Tak mau kehilangan momen, Sena langsung beranjak menghampiri.
“Rin…,” sapa Sena. Ririn menoleh melihat arah suara yang menyapanya.
“Hai… kamu, olahraga juga,” kata Ririn lalu Sena menganggukan kepalanya. Sena terkagum dan terdiam sesaat melihat sosok di depannya. Doa yang disampaikan saat salat tahajud semalam langsung terjawab.
Aku dan Ucup tak lagi dihiraukan Sena. Ia sudah asyik sendiri, namun kami memahami hal tersebut. Sena dan Ririn larut dalam obrolan, tak tahu apa yang dibicarakannya. Karena merasa bosan, Ucup mengajakku untuk pulang ke kosan.
“Pulang yuk Ri,” ajak Ucup.
“Sena gimana,” kataku seraya melihat Sena yang masih ngobrol bersama Ririn.
“Kita WhatsApp saja, kasih tahu kita jalan duluan,” kata Ucup.
“Ok…,” kataku sambil mengambil smartphone untuk mengirimkan pesan kepada Sena. Pesan sudah terkirim, namun tidak terlihat reaksi Sena untuk melihat smartphone miliknya.
Aku dan Ucup beranjak pergi dari taman dan kembali ke kosan. Seperti biasanya, hari libur kami manfaatkan untuk tidur seharian, bahkan sampai tak makan siang. Menggunakan pakaian olahraga, Ucup langsung berbaring. Tak lama kemudian terdengar suara dengkuran, ini membuktikan Ucup sudah tertidur pulas.
Sementara Aku, sudah berbaring namun belum bisa tidur lelap seperti Ucup. Akhirnya untuk mengisi waktu, Aku membaca berita-berita online. Sudah digeser ke atas hingga mentok, layar smartphone tak bisa lagi digeser. Berita pada layar sudah habis terbaca.
Aku beranjak dari kasur, mengambil handuk untuk mandi. Sebab ketika pergi ke taman, kami hanya membasuh muka dan bermodalkan minyak wangi agar terkesan segar.
Tubuhku merasa segar setelah disiram air. Kembali ada keinginan untuk meneguk kopi hangat. Aku panaskan air, lalu Aku sedu kopi hitam dengan sedikit gula. Memang pada dasarnya Aku lebih suka dengan kopi pahit.
***
“Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,” ucap Sena dengan raut wajah gembira.
Akupun langsung menjawab salamnya, “Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh”.
Sena langsung duduk di sampingku, wajahnya tertunduk dan Aku menatap dirinya dengan penuh tanya tanya. Sena sepertinya sedang berakting, agar bisa membuatku penasaran untuk segera mendapatkan informasi terkait pertemuannya dengan Ririn.
Lama ia berdiam diri, Akupun tak ingin mengganggunya. Aku hanya bisa menunggu apa yang akan ia kata.
“Alhamdulillah…,” ucapnya seraya ingin memelukku. Aku langsung mengindar melihat reaksinya yang tak terduga tersebut. Akhirnya Aku hampir dalam posisi terbaring untuk mengelak dari pelukannya.
“Ada apa ini Sen?” tanyaku sedikit berlaga layaknya orang panik.
“Terima kasih Ri,” ucapnya. “Berkat dukungan kalian, Aku bisa mendekati Ririn,” ujarnya.
“Aku diundang untuk mampir ke rumahya,” ungkap Sene. Suara Sena yang cukup keras membuat Ucup yang semula masih tertidur kini bangun dan beranjak dari tempat tidurnya. Ucup melangkahkan kakinya ke arah kami dan bertanya penyebab kegaduhan di rumah ini.
“Sena membawa kabar baik, ia mendapatkan kesempatan untuk mendekati Ririn,” ucapku membantu Sena menjelaskan kepada Ucup.
“Jadi apa ceritanya,” tanya Ucup merasa penasaran dengan apa yang terjadi hari ini. Memang hari ini menjadi milik Sena, keberuntungan sedang menghampirinya.
Sena menceritakan apa saja yang dibicarakan dengan Ririn. Sebenarnya tak ada pembicaraan spesial, namun pembicara tersebut sepertinya menarik perhatian Ririn.
“Ting…ting…ting,” terdengar suara dentingan mangkuk yang dipukul menggunakan sendok. Bunyi ini tak asing lagi, sebab menjelang siang Mas Yanto selalu lewat depan rumah kos-kosan kami untuk menjajakan dagangannya.
“Bakso,” sapa Ucup memanggil Mas Yanto. Gerokan bakso itupun berhenti tepat di depan kosan kami.
“Kalian mau juga?” tanya Ucup seraya mengarahkan pandangannya ke Aku dan Sena. Lalu dengan hanya anggukan, tanpa harus berkata-kata Ucup sudah mengerti.
“Tiga mangkuk Mas,” Ucup menyampaikan pesanan dan langsung dikerjakan Mas Yanto. Bakso diracik, tak lama kemudian aroma kaldu sapi bertebaran saat dandang dibuka. Mas Yanto kemudian mengisi mangkuk bakso dengan air kaldu yang terdapat pada dandang.
Kami bertiga menikmati bakso yang sudah disajikan. Biasanya kalau sudah makan bakso, kami tak lagi makan siang untuk menghemat uang kiriman. Sebab jika tidak bisa berhemat, uang kiriman orang tua untuk sebulan hanya cukup tiga Minggu. Ini menjadi keasyikan tersendiri bagi mahasiswa rantauan.
Tak jarang Aku, Sena dan Ucup masak makanan sendiri. Sebab dengan memasak sendiri bisa jauh lebih hebat. Uang yang biasa digunakan untuk makan satu kali l, jika dikumpulkan maka bisa digunakan untuk makan dua kali.
Perut sudah kenyang, keringat berhamburan dikarenakan makan bakso terlalu banyak menggunakan cabai. Memang semakin pedas, maka semakin lahap memakan bakso.
Hari ini terasa panjang dan lama bagi Sena. Ia terlihat mondar-mandir di dalam ruangan tengah. Tingkahnya ini membuat Aku dan Ucup, ‘pusing’. Kemudian Ucuppun bertanya kepada Sena untuk menghilangkan rasa penasarannya.
“Kenapa Sen?” ucap Ucup.
“Gak ada apa-apa, santai saja. Udah kamu tiduran saja,” kata Sena menjawab pertanyaan Ucup.
“Iya, Aku sih memang mau tidur, namun pusing melihat tingkah kamu ini,” tegasnya. Sena hanya tersenyum membalas perkataan Ucup dan ini membuat Ucup semakin kesal. Menggunakan bantal, Ucup lalu menutup kepalanya. Tak lama berselang sudah terdengar suara dengkuran dari balik bantal tersebut.
Hari berganti malam, Sena masih saja belum bisa tidur. Matanya hanya menatap smartphone di tangannya dan sesekali melihat ke langit-langit kamar. Namun baiknya, sejak pertemuan dengan Ririn membuat Sena semakin rajin melakukan salat.
Biasanya hanya salat wajib saja, itupun dilakukan saat injury time. Namun sekarang, sebelum waktu salat sudah siap-siap dan salat sunnah semakin getol. Bahkan, malam ini Sena tak lepas dari wudhu untuk menjalankan salat malam dan tahajud.
“Alhamdulillah,” gumamku melihat perubahan yang ada pada Sena. Kota Kembang dikenal dengan kota yang penuh dengan gemerlap dunia, namun Sena tak terpengaruh oleh itu semua. Ini tentunya menjadi pertanda baik.
Menjelang subuh, shalawat tarhim sudah dikumandangkan di masjid. Suara sayup-sayup shalawat tersebut masuk dari celah-celah jendela kamar. Aku mulai membuka mata dan terlihat Sena sedang melaksanakan salat sunnah.
Aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri, berwudhu lalu mengambi sajadah untuk siap-siap pergi ke masjid. Begitu juga dengan Ucup. Untuk salat ke masjid, kami harus datang lebih awal. Jika tidak akan tertinggal, sebab jarak antara rumah dengan masjid cukup jauh.
Kami berjalan beriringan ke masjid. Selama di perjalanan tersebut Aku sempat bertanya mengenai perubahan sikap Sena. Lagi-lagi ia hanya memberikan senyuman tanpa menceritakan secara detail apa yang terjadi.
Sepulang dari masjid, hanya Aku dan Ucup yang berjalan bersama. Sementara Sena masih ingin berdiam di masjid. Hampir setengah perjalanan menuju ke kosan, Aku dan Ucup hanya berdiam diri. Namun tak lama berselang Ucup membuka obrolan.
“Hebat Sena sekarang,” kata Ucup singkat.
“Iya,” jawabku seraya mengacungkan jempol menyatakan setuju. Memang perubahan sikap Sena sangat drastis, ini membuat kami bertanya-tanya.
Aku dan Ucup berbaring di tempat tidur saat Sena mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Aku dan Ucup serentak menjawab salam tersebut. Hari ini Ucup kuliah siang, namun Aku dan Sena ada jam kuliah pagi tepatnya pukul 08.30 WIB.
Biasanya kami berangkat kuliah satu jam jelang mata kuliah dimulai, karena dengan estimasi waktu tersebut kami masih bisa bersantai di kampus sekitar setengah jam. Kadang masih sempat memesan kopi di kantin Mbok Inah.
Namun pagi ini Aku harus pergi lebih cepat dari biasanya, karena ingin mengimbangi Sena. Pukul 06.30 WIB Sena sudah siap, dan ia mengajakku berangkat pukul 07.00 WIB. Akupun mengikuti keinginan Sena untuk berangkat lebih pagi, di kosan juga gak ada yang harus dikerjakan.
Sesampai di kampus, Sena bukannya menuju kantin malah menuju ke ruang BEM.
“Ri, kamu jalan dulu ke kantin, nanti Aku menyusul,” kata Sena seraya meninggalkan Aku menuju ke ruangan BEM.
“Mau kemana?” tanyaku menghangatkan suasana. Sena tersenyum dengan berlari-lari kecil.
Secangkir kopi hasil racikan Mbok Inah tepat berada di depanku. Aroma khas kopi menyebar, tak kuasa manahan rasa ingin meneguknya. Namun karena masih terlalu panas membuat Aku harus menahan diri.
Tak lama menunggu, Aku melihat dari kejauhan Sena sedang berjalan menuju ke arahku. Namun kali ini ia tidak sendirian, sebab ada Ririn ikut berjalan tak jauh darinya.
“Hebat Sena, bisa membuat senior terpikat,” gumamku.
Sena duduk di sampingku, sementara Ririn memilih kursi di depan kami.
“Hai…apa kabar?” tanya Ririn kepadaku.
“Baik, kamu bagaimana?” jawabku seraya bertanya dengan maksud memperpanjang obrolan.
“Baik juga,” jawabnya renyah.(bersambung)