Sahabat, Menuju Hijrah

Bagian 3
Menuju Hijrah

SEPERTI dikisahkan sebelumnya, Aku, Sena dan Ririn bertemu di kantin kampus. Ketika itu, Sena memesan kopi, sementara Ririn memesan teh. Semula kehadiran Ririn membuat obrolan kami sempat canggung, namun lama kelamaan obrolan kami menjadi lebih santai.

Ternyata Ririn orang yang enak diajak ngobrol. Selain ramah, ia sangat terbuka dan tidak sombong.

“Hai…, kapan-kapan kalian main ke rumahku,” kata Ririn mengajakku seraya menoleh ke arah Sena.

“Saya…,” tanyaku.

“Iya, bukan hanya kamu dan Sena. Siapa teman kalian satunya?” kata Ririn.

“Ucup,” jawabku mengingatkan Ririn. Memang kali ini Ucup tak berangkat ke kampus bersama, sebab ia tak ada mata kuliah hari ini.

“Ia juga boleh ikut,” lanjut Rirjn menegaskan.

“Ok, insyaallah kapan-kapan nanti kami akan berkunjung ke rumahmu,* jawabku direspon Sena dengan anggukan kepala.

Tak terasa kami semakin akrab, obrolahpun berakhir karena masing-masing kami harus mengikuti kuliah.

Siang ini terasa sangat panas dari biasanya, Kota Kembang yang dulunya dikenal dengan kesejukannya kini berangsur hilang akibat banyaknya kendaraan mengakibatkan kemacetan dan polusi.

Sepertinya sangat enak jika saat ini meneguk teh dingin. Tak menunggu lama setelah jam kuliah berakhir Aku menuju ke kantin. Belum lama Aku sampai dan duduk di bangku panjang kantin, terdengar suara handphoneku berdering.

Rupanya Sena yang sedang melakukan panggilan. “Ada apa Sen?” tanyaku singkat kemudian memesan segelas teh dingin.

“Kamu lagi dimana Ri?” Sena balik bertanya.

“Lagi di kantin, baru aja sampai,” jawabku.

“Ok, Aku merapat,” kata Sena mengakhiri pembicaraan.

Belum juga teh manis pesananku datang, Sena sudah merapat menuju ke arah dimana Aku duduk. Suara napasnya agak ngos-ngosan karena harus berlari-lari kecil menuju kantin.

“Kenapa, buru-buru banget,” tanyaku sambil menatap tajam ke arah Sena.

“Nggak, Aku khawatir kamu sudah beranjak dari kantin sebelum Aku datang,” jawabnya kemudian ikut memesan segelas teh manis dingin.

Aku hanya tersenyum menanggapi pernyataan Sena. Sambil menunggu teh pesanan datang, Aku dan Sena mengambil beberapa gorongan untuk mengganjal perut.

“Mau makan nasi sekalian Sen?” tanyaku.

“Boleh,” kata Sera mendekat ke arahku. Lalu mulutnya berbisik pelan di telingaku.

“Tolong kamu bayarin dulu ya, sebab lagi gak ada uang. Tadinya sih ada, lalu ada permintaan sumbangan di kelas tadi. Jadi sekarang sudah habis,” katanya menjelaskan dengan wajah memelas.

“Ok…ok…, santai aja. Makan yang kamu mau,” kataku membuat wajah Sena sumringah.

Kamipun tak lagi menguyah gorengan, sebab satu piring nasi putih beserta lauk pauk sudah berada tepat di depan menunggu dilahap.

Sesendok demi sesendok nasi berserta lauknya masuk ke dalam mulut. Akhirnya hanya piring dengan beberapa butir nasi tertinggal.

Perut sudah kenyang, teh manis dingin kini sudah tak bersisa. Aku dan Sena ngobrol sebentar dan kemudian Aku mengajak Sena untuk balik ke kos-kosan. Sebab rasa kantuk mulai mengusik, mata yang semula masih terang sekarang tinggal lima watt.

Sambil berjalan menuju ke kos-kosan, Sena tak lepas dari obrolan. Ada saja yang ingin diceritakannya. Hampir setengah jalan menuju kos-kosan, terlihat sebuah mobil berhenti di depan kami. Karena merasa tak mengenali pengendara mobil tersebut, Aku dan Sena tetap fokus dengan obrolan.

“Sena…, Ri…,” sapa seseorang dari balik kaca mobil yang perlahan mulai terbuka. Setelah kaca mobil terbuka tampak sosok yang tak asing lagi di mata.

“Hai…, ayo ikut,” sapa Ririn yang berada di dalam mobil tersebut.

“Kemana?” Sena menjawab ajakan Ririn.

“Ayo…, masuk aja dulu,” kata Ririn dengan nada sedikit memaksa.

Aku dan Sena tak bisa berbuat banyak dan mengabulkan ajakan Ririn untuk naik ke kendaraannya. Sena duduk di samping Ririn yang masih berada di belakang setir, sementara Aku duduk di bagian belakang.

Angin sejuk berhembus setelah duduk di dalam mobil milik Ririn. Suasana panas hilang, selain sejuk kabin mobil Ririn sangat harum dengan aroma terapi. Rasanya ingin berlama-lama di dalam mobil ini.

“Mau kemana kita?” tanya Sena lalu Ririn menoleh ke arahnya dan menjelaskan tujuan perjalanan kali ini.

“Saya antar kalian pulang ke kos-kosan,” kata Ririn. Aku dan Sena terperanjat mendengarnya, kami hanya terdiam dan saling pandang.

“Kalian tunjukkan jalannya,” kata Ririn. Dengan perasaan tak enak, Sena mulai menunjukan jalan menuju ke kosan.

“Stop di sini saja, sebab mobil tidak bisa masuk,” kata Sena. Kemudian Ririn mulai menepikan kendaraan ke sisi jalan.

“Kamu mau ikutan ke kos-kosan,” tanya Sena melanjutkan dan dijawab Ririn dengan anggukan kepala.

Kami bertiga kini menyusuri jalan menuju kos-kosan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Terkadang, pejalan kaki harus merapat ke dinding rumah warga jika bersamaan ada kendaraan roda dua melintas.

“Klik…,” suara kunci rumah terbuka.

“Mohon dimaklumi ya, konsidi kos-kosan kurang bersih,” kata Sena.

“Nggak apa-apa, ini juga lumayan bersih untuk rumah yang didiami cowok,” kata Ririn seraya mengarahkan kepalanya melihat sekeliling kos-kosan.

Ucup yang baru saja bangun tidur terkejut ketika melihat Ririn sudah berada di ruang tengah. “E…Rin,” sapa Ucup dan langsung beranjak menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Bukan hanya Ucup, sebab Aku dan Sena juga kerap bangun siang jika tidak ada jam kuliah. Kendati tempat kosan kami tergolong kecil, namun sirkulasi udara sangat baik, sehingga ruang tidak lembab.

“Kalian rapi juga ya,” puji Ririn melihat kondisi kos-kosan. Kami bertiga hanya tersenyum. Memang tak salah apa yang dikatakan Ririn, sebab kami selalu menjaga kebersihan kos-kosan agar selalu betah tinggal berlama-lama.

“Mau minum apa,” tanya Sena menawarkan, lalu Ririn tersenyum.

“Emang ada apa aja,” ia balik bertanya berupaya memecahkan ketegangan.

“Gak perlu repot, apa saja boleh. Air mineral pun boleh, sebab saya tidak minum kopi,” kata Ririn.

“Ahhh…, emang cuma itu yang ada,” gumamku.

Satu gelas air mineral kemasanpun disajikan kepada Ririn. “Di tempat kami ini hanya ada kopi dan air mineral. Terkadang teh juga ada,” kata Sena tanpa harus malu dan menjaga gengsi.

Ririn langsung menusukan sedotan ke plastik penutup air kemasan mineral. Kemudian meminum air tersebut secara perlahan dan hampir mendekati habis. Kami ngobrol dengan enak, Ririnpun tak segan bertanya mengenai kampung halaman kami.

Ucup paling semangat menceritakan kondisi kampung halaman kami. Tak luput dari kisahnya yakni, panorama alam pantai yang sangat indah bahkan tak kalah dengan potensi alam pantai di Bali. Namun ombak pantai di kampung kami tidak sehebat di Bali. Ini mungkin menjadi salah satu penyebab kurangnya tidak wisatawan berkunjung.

Seperti halnya di Bali, wisatawan tak hanya ingin melihat panorama pantai. Tapi sejumlah wisatawan yang berkunjung juga ingin menikmati berselancar di antara alunan gelombang. Ririn hanya bisa mendengarkan dan membayangkan. Sebab Ririn sudah pernah ke Bali.

“Nanti, kalau ada kesempatan saya mau berkunjung ke kampung halaman kalian,” katanya memotong penjelasan Ucup.

“Boleh…boleh…,” kata Ucup. “Nanti kami akan menjadi pemandu wisatanya,” guyonnya diikuti tawa kecil Ririn.

Setelah cukup lama ngobrol, Ririnpun minta izin untuk pamit balik ke rumahnya.

“O…iya, saya sudah main ke sini. Nanti giliran kalian berkunjung ke tempatku,” kata Ririn dengan nada memaksa dan ujung jarinya menunjuk ke arah kami bertiga secara bergantian. Mata Sena tak lepas memandangi Ririn sampai tubuh mungil itu sudah tak terlihat lagi.

Perasaan mengantuk yang tadinya menghantui, hilang sesaat karena ngobrol bersama Ririn. Namun kini rasa kantuk itu kembali, Akupun membaringkan tubuh di atas kasus. Berselang beberapa menit kemudian diriku sudah tak sadar lagi dengan kejadian di sekeliling.

***

Ujung bulan menjadi hari-hari yang sangat panjang bagi kami anak kos. Sebab ketika itu, uang kiriman menipis bahkan terkadang habis dan harus menjalankan strategi mengutang untuk makan. Namun karena kami tinggal bertiga, kamipun bisa saling membantu untuk memenuhi kebutuhan di masa-masa sulit seperti ini.

Setidaknya tiga hari belakangan kami bertiga makan nasi dengan lauk mie. Terkadang ikan asing sisa belanja awal bulan. Kalau kondisi seperti ini, frekuensi jalan-jalan ke mall dan taman dikurangi walau sekedar menghilangkan penat.

“Sen, gimana kalau kita berkunjung ke rumah Ririn. Hari libur seperti ini bosan kalau di rumah aja,” kata Ucup menggoda Sena.

Sena menatap Ucup dan kemudian mengalihkan tatapannya ke arahku. Melihat respon Sena, kemudian Aku mengacung jempol mendukung ucapan Ucup. Terlihat wajah Ucup senang karena mendapat dukungan.

“Baik, Aku kontak dulunya,” kata Sena sambil membuka aplikasi WhatsApp untuk mengirimkan pesan.

“Rin, lagi ngapain?” tanya Sena via WhatsApp. Tak menunggu lama, langsung ada balasan.

“Lagi santai di rumah, eee… mau gak kalian main ke rumahku,” tawar Ririn.

“Ok…, kami merapat ya,” kata Sena yang kelihatan senang mendapatkan tawaran tersebut.

“Aku tunggu,” jawab Ririn singkat.

Sekarang kami tinggal memikirkan cara untuk sampai ke rumah Ririn. Sebab jika harus naik angkot, maka akan banyak uang dikeluarkan. Sementara persediaan uang semakin menipis. Apalagi untuk ke rumah Ririn harus dua kali naik angkot, ini akan semakin mengikis persediaan.

“Begini saja, sekarang kita jalan kaki. Kita lewati jalan pintas,” kata Ucup memberikan saran.

Angkot menuju ke rumah Ririn harus mengikuti jalan memutar, sehingga agak jauh. Sementara kalau ditempuh berjalan kaki, jaraknya lebih dekat. Namun harus melintasi jalan gang di antara rumah warga. Akhirnya kami memutuskan untuk mulai melangkah menuju ke rumah Ririn.

Satu jam berjalan kaki, rumah Ririn sudah terlihat. Lalu kami beristirahat di depan pagar rumahnya sambil menyeka keringat di dahi. Tak heran kalau rumah keluarga Ririn sangat megah, sebab ayahnya seorang pengusaha sukses di Kota Kembang.

“Rin, kami sudah di depan rumahmu,” Sena menyampaikan pesan.

Tak lama seorang pria paruh baya datang menghampiri dan kemudian membuka pintu pagar.

“Si Neng menunggu di gazebo sebelah kanan,” kata pria tersebut seraya mempersilahkan kami masuk dan menunjuk arah.

Kalau dari tempat kami berdiri hanya terlihat atap gazebo, sebab tumbuhan yang tertata rapi menutupi bagian bawah gazebo tersebut. Namun semakin mendekat, terlihat Ririn yang sudah menunggu. Kami mendapatkan sapaan hangat dari Ririn.

Namun kami kali ini menjadi salah tingkah, sebab Ririn hanya mengenakan t-shirt ketat dan hotpants. Mata kami tak berani untuk menatap, dan hanya menunduk saja. Mungkin Ririn menyadari setelah melihat tingkah kami bertiga.

“Tunggu sebentar ya,” ia beranjak meninggalkan kami.

“Hai… gimana kalau begini,” kata Ririn menggoda kami seraya menunjukan pakaiannya. Kali ini tubuh Ririn lebih tertutup dengan menggunakan celana jeans dan t-shirt longgar.

Kami bertiga tersenyum berbarengan. “Kamu terlihat lebih cantik dengan mengenakan pakaian seperti ini,” goda Sena.

Ririn tersenyum. “Maaf ya…, tadi membuat kalian risih,” ungkapnya.

“Iya… tadi Aku tunggu lama sekali kalian sampai ke sini. Kenapa, macet ya. Kok hari libur macat,” kata Ririn mencecar kami dengan pernyataan dan pertanyaan.

Kami bertiga hanya tersenyum dan tak melanjutkan membahas tema obrolan Ririn. Kami tidak mau berbohong, namun kami juga terlalu malu jika harus berterus terang. Untungnya Ucup cukup cakap dalam hal mengalihkan tema pembicaraan.

“Rin, kemana pada keluargamu?” tanya Ucup. Ririn senyum dengan mengangkat sedikit bahunya.

“Kalau di rumah ini, sudah biasa seperti ini. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing,” kata Ririn.

Kami melihat dan mengamati sekeliling rumah Ririn yang dilengkapi dengan kolam renang. Semuanya tertata rapi, namun memang kalau dilihat sekilas bak rumah tanpa penghuni. Suasana sepi dan sangat tenang. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Ririn sangat ingin mengajak kami untuk berkunjung ke rumahnya.

Ririn membutuhkan teman ngobrol untuk mengisi kesepian di rumahnya. Hampir dua jam kami ngobrol, perut mulai terasa lapar. Matahari tak lagi tepat di atas kepala, ini menandakan sudah waktu salat Zuhur.

“Rin, boleh menumpang salat?” tanyaku.

“Boleh… boleh…, kenapa tidak,” jawabnya seraya mengajak kami menuju sebuah gedung terpisah dari rumahnya. Gedung tersebut lebih besar dari gazebo, dindingnya berwarna putih bersih.

“Salatnya di sini ya,” kata Ririn mengarahkan agar kami masuk ke gedung tersebut.

Aku, Ucup dan Sena terkagum dengan mushalla ini. Bangunannya sangat megah dilengkapi dengan pendingin ruangan. Sajadahnya seperti bentangan permadani, bersih terawat dan terasa terbang ketika kaki menginjaknya. Ini dikarenakan ketebalan sajadah yang tak seperti biasanya.

“Aku ikut berjamaah ya,” kata Ririn sambil masuk ke arah bagian mushalla yang sudah terpasang tirai.

Usai mengambil air wudhu, Aku mengambil posisi muazin. Terasa berbeda suaraku saat mengumandangkan azan, mungkin dikarenakan sound system bagus. Sehingga suaraku yang hanya standar-standar saja menjadi bagus.

Kami lalu memulai untuk salat berjamaah. Sena sudah menempati posisi sebagai imam sebelum Aku iqomah. Belum Sena mengangkat tangan untuk takbiratul ihram, terlihat tergopoh-gopoh petugas keamanan yang tadi membukakan pintu pagar ikut mengisi saf untuk melakukan salat.

“Assalāmu’alaykum waraḥmatullāhi wabarakātuh,” Sena mengucapkan salam di penghujung salat.

“Nikmatnya melaksanakan salat di sini,” gumamku menikmati dinginnya hengusan angin yang keluar dari pendingin ruangan.

“Nama saya Karno Bang, alhamdulillah,” katanya.

“Selama saya bekerja di sini, belum pernah yang melakukan salat berjamaah di musholla ini,” ungkapnya.

Cukup lama kami berada di dalam mushalla, ternyata Ririn sudah menunggu di luar. Wajahnya tampah bersih dan bertambah cantik setelah dibasahi air wudhu. Aku dan Ririn sempat mengobrol sebentar sambil menunggu Ucup dan Sena.

“Lama Aku merindukan suasana seperti ini. Orang tua sibuk dengan urusannya, begitu juga Aku dan adikku. Sehingga kami tak sempat untuk salat berjamaah. Hanya Mang Karno yang rajin membersihkan dan salat di sini,” Ririn bercerita dengan nada sedih.

Terlihat matanya mulai berkaca-kaca saat menyampaikan perasaan hatinya tersebut. Tak lama kemudian Ucup dan Sena keluar mushalla, Ririnpun menyeka matanya dan mengajak kami kembali ke gazebo.

Lagi-lagi kami dibuat terkagum selama berada di rumah Ririn. Tampak meja di gazebo dipenuhi makanan dan minuman. Ternyata selama kami salat, asisten rumah tangga Ririn menyiapkan semua itu.

“Ayo kita makan,” ajak Ririn sambil menyerahkan piring yang sudah terisi nasi kepada Sena. Kemudian ia kembali mengambil piring, mengisi nasi lalu memberikan pada Ucup.

Sementara Aku lebih dahulu mengambil piringku sendiri. “Bawa ke sini, Aku isi nasinya,” kata Ririn.

“Biar Rin, Aku ambil sendiri. Boleh,” kataku lalu direspon Ririn dengan menganggukan kepala.

“Makan ya, jangan malu-malu. Ibu dan Ayahku mungkin sudah makan di luar, begitu juga dengan adikku,” jelas Ririn.

Tentunya kami tak mau kehilangan kesempatan ini. Rasanya semua makanan ingin kami coba, namun perut ini terlalu kecil untuk menampung semua makanan tersebut.

“Alhamdulillah, rezeki anak rantau,” kata Ucup. Ririn mungkin sedikit tahu dan mengerti persoalan anak rantau, jadi ia tersenyum bahkan hampir tertawa mendengar celotehan Ucup.

Aku dan Sena juga ikut tersenyum. Ucup memang orang yang renyah, karena sifatnya tersebut ia terkadang tak bisa menyimpan isi hatinya. Usai menyantap makanan, harus aroma kopi menghampiri hidung. Kemudian terlihat asisten rumah tangga membawakan tiga gelas kopi ke arah gazebo.

“Sruppp…,” Ucup menyeruput kopi hitam kental tersebut.

“Wahhh… mantap. Enak sekali kopi ini Rin,” kata Ucup.

“Ayahku sering keluar kota, jadi ketika ia berpergian kerapkali membawa kopi sebagai oleh-oleh. Tapi Aku tak tahu dari mana asal kopi ini,” jelas Ririn dan kami bertiga tanpa dikomando serentak menganggukan kepala.

“Kalau kalian mau tahu lebih banyak, nanti Aku kenalkan dengan Ayahku,” lanjut Ririn. Lagi-lagi kami hanya bisa menganggukan kepala.

“Namun hari ini Ayahku sedang tidak di rumah, jadi kalian datang saja lagi nanti,” Ririn kembali mengundang agar kami berkunjung ke rumahnya.

Hari sudah menjelang sore, namun waktu salat Asar belum tiba. Sena mengajak Aku dan Ucup untuk kembali ke kosan. Sebab sudah cukup lama kami berada di rumah Ririn. Namun dengan cepat Ririn berkata, “Bagaimana kalau kalian pulang habis salat Asar,” Ririn menyarankan.

“Iya boleh,” Aku menjawab sebelum Sena menolak permintaan Ririn. Aku cepat memberikan jawaban karena Aku tahu apa yang dirasakan Ririn.

Akhirnya kamipun sepakat kembali ke kosan sehabis salat Asar. Masih sama seperti salat Zuhur, Aku azan dan Sena mengimami. Sebagaimana sesuai kesepakatan, usai Asar kami beranjak dari rumah Ririn. Kali ini Ririn mengantar kami sampai ke gerbang rumahnya.

“Hai…, makanan tadi siang masih ada loh. Mau dibekali gak,” guyon Ririn. Ucup tersenyum dan menyela, “Mau dong,” pintanya memelas.

Ririn tertawa tak tertahankan dan langsung meminta Mang Karno untuk mengambil bungkusan di gazebo. Sebenarnya makanan tersebut telah disiapkan dan diletakkan di gazebo. Ucup senang bukan main, sebab malam ini tak lagi perlu makan mie instan.

“Ririn,” panggil Ayahnya. Ririnpun datang menghampiri Ayahnya dan langsung duduk di samping Ayah dengan manja.

“Kenapa Yah,” tanya Ririn.

“Siapa teman kamu tadi?” kata Ayahnya.

“Temen kampus Yah, mereka anak rantau dari Sumatera. Anaknya baik-baik, rajin ibadah lagi,” kata Ririn menjelaskan untuk menjawab pertanyaan Ayahnya.

“Iya, Ayah tahu. Tadi sewaktu salat Asar Ayah mendengarkan temanmu azan,” katanya. Ririn hanya mengangguk mendengarkan penjelasan ayahnya tersebut.

“Yah, Ririn mau mengerjakan tugas kampus. Ririn ke kamar dulu ya,” kata Ririn mengakhiri percakapan dan langsung menuju kamar. Tak lama berselang, ibu Ririn menghampiri suaminya dan menanyakan apa yang telah diobrolkan.

***

Masih seperti hari-hari sebelumnya, aktivitas ke kampus menjadi prioritas bagi kami bertiga. Pagi ini kami berangkat bareng ke kampus, kendati mata kuliah Sena ada pada jam siang. Sesampai di kampus, Aku dan Ucup langsung menuju kelas. Sementara Sena ke arah kantin untuk menunggu jam kuliah.

Kopi tetap menjadi minuman favorit. Selain itu, goreng pisang menemani Sena menyeruput kopi tersebut. Belum lama menikmati kopi, Rio bersama beberapa temannya menghampiri Sena dan langsung duduk tepat di depan Sena. Rio hanya menatap tajam ke arah Sena.

Sena hanya diam menyikapi tingkah laku Rio bersama temannya tersebut. Sikap tenang Sena ini membuat Rio dan temannya geram.

“Kamu anak baru mau bikin masalah,” kata Rio membuka percakapan.

“Apa, saya gak ngerti. Kamu ngomong apa,” ungkap Sena seraya balik bertanya.

“Kamu berani banget mendekati Ririn,” tegasnya.

“Emangnya kenapa, saya mendekati Ririn karena saya menganggap Ririn bisa menjadi teman yang baik bagi saya. Memang kamu siapanya Ririn,” tukas Sena.

Perkataan terakhir Sena membuat Rio tersinggung dan naik pitam. Ia berdiri dan menggebrak meja dengan keras. Hampir semua pengunjung kantin melihat ke arah suara. Sena masih tenang dan melihat kondisi sekitar.

“Begini saja, jangan ribut di sini, malu. Nanti jam pulang kuliah temui saya di depan gerbang kampus,” kata Sena.

Mendengarkan penjelasan Sena, selanjutnya Rio bersama teman-teman pergi meninggalkan kantin. Sementara Sena masih tetap di kantin menghabiskan kopi. Tak hanya ngopi, Sena kali ini juga memesan makan siang.

Usai jam kuliah, Aku dan Ucup menuju ke kantin dan kami melihat Sena lagi asyik menyantap sajian makan siangnya. Aku dan Ucup pun langsung memesan makan, karena selama mengikuti perkuliahan membuat perut menjadi lapar.

“Hai, kalian jangan pulang duluan. Saya mau masuk kelas, setelah selesai kita pulang bareng,” kata Sena. Kami menganggukan kepala dan Sena berjalan menuju kelas.(bersambung)

Tinggalkan Balasan