Bagian I
Orientasi Kampus
NAMAKU Ari, tinggiku 160 cm, berat badanku 65 kg, warna kulit sawo matang namun lebih mendekati warna hitam sih. Aku lahir di keluarga sederhana, pendapatan orang tuaku cukup untuk makan sehari-hari. Kami hidup sederhana, dengan kesederhanaan ini membuat sahabatku betah berlama-lama di rumahku.
Aku anak ketiga dari empat bersaudara, dari semua saudaraku, aku salah satu orang yang bangkit karena tertolong oleh nasib. Aku mempunyai lima orang teman dekat, setiap berpergian, kami selalu bersama-sama.
Terkadang untuk mendekati seorang perempuan, kami juga bersama. Robert, temenku yang satu ini berperawakan putih, tinggi dan cenderung pendiam jika dibandingkan teman-temanku yang lain.
Sedangkan Aweng, temanku satu ini sedikit berewokan, ramah dan sering menyapa siapa saja. Wajahnya terbilang tampan, karena sifat dan wajahnya itu, ia menjadi orang yang digandrungi kaum hawa.
Nah yang satu ini Gugun. Orangnya berbadan kurus tinggi, kreatif, suka mengotak-atik komputer agak cuek dengan orang lain, namun sama kita ia orang yang renyah dan enak diajak bicara.
Tak kalah menariknya teman saya yang satu ini, Sena. Berperawakan hampir sama dengan Gugun, namun Sena agak sedikit emosional dari kami semua. Sedangkan yang terakhir bernama Ucup. Ia berperawakan lucu dan memang paling lucu di antara kami berenam.
Cerita ini dimulai saat kami ingin melanjutkan pendidikan ke universitas. Tinggal di daerah kepulauan menjadi tantangan dan mempunyai keunikan tersendiri. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, kami harus menyeberangi lautan.
Aku, Sena dan Ucup berangkat merantau untuk kuliah di salah satu universitas di Kota Kembang. Namun Robert, Gugun dan Awang memilih tetap tinggal di pulau kebanggaan kami, Pulau Serumpun Sebalai. Mereka ingin langsung bekerja.
Terdengar suara bergemuruh saat kami berada di dalam bus yang penuh sesak penumpang. Hujan deras mengguyur kami, suasana gelap, jalanan licin mengiringi keberangkatan kami menuju Pelabuhan Muntok.
Sesampai di pelabuhan hujan masih mengguyur, kami berlomba mencari tempat berteduh. Sebuah atap bangun tua menjadi pilihan kami untuk mengeringkan baju yang sempat tersiram air hujan. Tak jauh dari tempat Aku, Sena dan Ucup berdiri tampak seorang wanita yang juga ikut berteduh.
“Ega…,” sapaku kepada wanita tersebut. Iapun menoleh dan melambaikan tangan memberikan isyarat agar kami mendekati. Setelah berada di dekatnya, kamipun bercerita mengenai tujuan perjalanan kami. Ternyata Ega ingin menuntut ilmu ke Yogyakarta.
“Ri, kamu melanjutkan pendidikan kemana?” tanya Ega sekaligus menatap kami bertiga.
“Rencananya kami akan ke Bandung, tapi belum tahu mau kuliah di universitas yang mana,” jelasku lalu diiyakan Sena dan Ucup.
Cukup lama kami menunggu di dermaga pelabuhan. Sore haripun berganti gelap pertanda giliran sang rembulan yang menampakkan diri. Sekira pukul 20.00 WIB ada pengumuman agar penumpang menaiki tongkang untuk menuju ke kapal.
Maklum, dermaga di pelabuhan kami belum bisa bersandar kapal-kapal berukuran besar. Sehingga kapal harus lepas jangkar jauh dari pelabuhan. Satu persatu penumpang menaiki tongkang, semula suasana masih tertib dan teratur.
Namun ketika hujan kembali mengguyur, para penumpang mulai panik. Akhirnya penumpang mulai berdesakan untuk mendapatkan tempat di tongkang. Selain basah karena hujan, sejumlah penumpang harus bermandikan keringat.
“Ega… Ayo,” panggilku. Ega nampak masih bingung melihat tingkat penumpang yang sedang panik rebutan tempat di tongkang. Aku, Sena dan Ucup segera membantu mengangkat tas dan menggandeng tanganya menuju tongkang.
Tentunya kami harus esktra hati-hati untuk menuju tongkang, sebab hanya dua papan panjang menjadi penghubung antara dermaga dengan tongkang. Setelah terisi penumpang, tongkang segera berjalan perlahan menuju kapal.
Penumpang mulai menaiki tangga kapal dan mencari tempat untuk beristirahat. Setidaknya kami membutuhkan waktu sekitar 18 jam untuk sampai ke dermaga tujuan yakni Pelabuhan Tanjung Priok.
Istirahat di kapal tak sama ketika kita berada di rumah. Suasana yang ramai, hempasan gelombang laut membuat beberapa penumpang mabuk laut. Tak hanya pusing kepala, sebab ada beberapa penumpang yang memuntahkan makanan.
Aroma asam memenuhi ruangan, lebih lengkap lagi setelah ditambah aroma minyak gosok, aroma keringat dan segala macam aroma bercampur dalam satu ruangan. Mata ini sempat terpejam beberapa saat, namun kembali terjaga ketika ada hempasan gelombang.
Ini menjadi perjalanan yang membekas. Matahari sudah mulai meninggi, Pelabuhan Tanjung Priok sudah nampak dari kejauhan. Kendati sudah terlihat, namun masih membutuhkan waktu sekitar satu jam agar kapal bisa merapat di dermaga.
Penumpang mulai turun mengunakan tangga kapal untuk sampai ke dermaga. Di dermaga sudah banyak orang yang menunggu menjemput, namun tak satu orangpun yang ada disitu ingin menjemput kami.
Aku, Sena dan Ucup mengucapkan salam perpisahan kepada Ega yang sudah dijemput sanak keluarganya untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Jogyakarta. Sedangkan kami bertiga meneruskan perjalanan ke Bandung.
***
Singkat cerita, Aku, Sena dan Ucup memilih universitas yang sama. Selain biayanya murah, universitas ini sudah banyak mencetak orang-orang berhasil di bidang komunikasi dan informasi.
Kamipun mulai masuk kuliah, orientasi studi dan pengenalan kampus atau lebih dikenal dengan sebutan ospek menjadi agenda pertama yang kami ikuti di kampus.
“Ri, mau kemana?” sapa Sena ketika melihat ku berjalan menuju kantin.
“Ke Kantin, Sen. Ikut yuk,” jawabku.
Tak lama berselang kamipun berjalan beriringan di selasar universitas menuju kantin. Sesampai di kantin, tanganku meraih gelas berisikan air es. Tanpa membuang waktu lama, langsung ku teguk minum dingin tersebut.
“Aahhh…,” lega gumanku yang langsung ditanggapi tawa Sena.
“Kenapa Ri, capek?” tanya Sena sambil tersenyum.
“Iya…,” jawabku seraya memejamkan mata dan membaringkan tubuhku di bangku panjang kantin. Kebetulan kali ini kanting sedang sepi, sehingga kami bisa merebahkan tubuh di kursi panjang kantin tersebut.
Mbok Inah pemilik kantin tampak tersenyum melihat tingkah kami. Saat ini kami sedang dalam masa orientasi pengenalan kampus, sehingga kerapkali dikerjai senior alias kakak angkatan. Banyak yang harus kami lakukan, terkadang tidak masuk akal sebagaimana seorang terpelajar.
Kami tidak diperbolehkan menggunakan sabuk kulit, dan selama menjalani masa orientasi tersebut kami hanya boleh menggunakan tali plastik untuk mengikat celana. Selain itu, kami harus mengenakan papan nama menggunakan kardus lalu digantung di leher.
Tali sepatu kami diganti menggunakan tali plastik, bahkan rambut perempuan harus dikuncir kepang kuda juga menggunakan tali plastik. Aahhh…, tentunya tak mengenakan menggunakan atribut aneh selama menjalani masa orientasi ini. Namun kami tak bisa berbuat banyak, hanya pasrah mengikuti keinginan kakak kelas.
Kendati demikian, ada enaknya juga selama orientasi. Sebab kami bisa saling mengenal dan mendapatkan teman baru. Mahasiswa yang masuk ke universitas ini berasal dari segala penjuru kota di Indonesia.
“Plaakkk,” terdengar suara hentakan di meja.
Kami yang lagi berbaring di kursi langsung tersentak. Sena dengan sifatnya yang emosionalpun langsung berteriak keras.
“Hoiii…,” bentaknya. Namun bentakan ini tak berlanjut setelah melihat orang yang melabrak meja merupakan senior.
Kali ini Aku dan Sena hanya bisa tertunduk. Merasa tidak mempunyai kesalahan, Sena lalu bertanya.
“Ada apa Kak,” sapa Sena dengan santun.
Namun sikap santun Sena tak berbalas, sebab bentakan dengan suara keras keluar lagi dari mulut Rio. Sena tetap bersabar, lalu matanya melirik ke sosok mungil yang berada di samping Rio. Senyumpun mengabang di bibir Sena.
Bagaimana tidak, sosok mungil ini bak bidadari. Rambutnya panjang, alisnya tipis berbaris rapi di atas matanya dan bibirnya merah ranum melengkapi keindahan wajah opalnya. Ririn ini merupakan wakil ketua BEM. Selain cantik, ramah ia merupakan mahasiswa berprestasi.
Ia cukup dikenal di universitas ini, banyak mahasiswa terpikat olehnya. Namun untuk saat ini, peluang mahasiswa lain untuk mendekatinya sudah pupus. Sebab nampaknya Ririn telah jatuh hati pada Rio sang Ketua BEM.
Tatapan mata Sena menuju Ririn semakin membuat kesal Rio. Ia tampak tak rela melihat tingkah Sena menatap tajam ke arah Ririn. Tak ada maksud Sena untuk menggoda, namun karena kecantikan Ririn membuat Sena menjadi terpesona.
“Kalian tahu kesalahan apa yang telah kalian lakukan?” tanya Rio masih dengan nada kasar.
“Tidak Kak,” jawab Sena dengan santai. Sikap Sena ini semakin membuat Rio berang.
“Kalian ke kantin sebelum waktunya istirahat. Atas perbuatan ini, kalian harus dihukum,” tegas Rio.
Memang sih, sebenarnya Aku dan Sena meninggalkan kegiatan orientasi. Ini dikarenakan rasa haus yang sudah tak tertahan. Rongga mulut hingga kerongkongan sudah terasa kering. Tadinya kami hanya ingin minun saja, namun kebablasan keenakan sambil merebahkan tubuh.
“Tak apa, yang penting rasa haus ini sudah hilang,” gumamku.
Tak lama Aku dan Sena digiring ke lapangan tempat orientasi berlangsung. Kami diperintahkan untuk berdiri di depan, sementara mahasiswa lainnya diperbolehkan duduk.
“Teman kalian ini telah membuat kesalahan. Mereka istirahat sebelum waktunya dan enak-enakan berbaring di kursi kantin. Hukuman apa yang bagus bagi mereka,” kata Rio meminta saran. Debar jantung semakin menjadi menunggu hukuman yang akan diberikan.
Setelah mendengarkan masukan dari sejumlah mahasiswa, akhirnya Aku dan Sena harus menjalani hukuman berjemur di halaman. Sementara teman-teman kami yang lain melanjutkan kegiatan orientasi kampus.
***
Matahari sudah mulai meninggi dan hampir berada tepat di atas kepala, namun hukuman belum selesai. Teman-teman mahasiswa lainnya sudah banyak berjalan menuju kantin, artinya sudah waktunya istirahat.
Aku dan Sena saling pandang, bertanya dalam hati kapan hukuman ini akan berakhir. Untuk menuju ke kantin, mahasiswa harus melintasi lapangan tempat kami dijemur. Tak sedikit yang merasa prihatin, namun ada juga yang mengolok-olok.
Akhirnya momen yang ditunggu-tunggu datang. Sosok kecil mungil namun cantik menghampiri Aku dan Sena.
“Kalian boleh istirahat,” kata Ririn dengan tegas dan langsung membalikkan badan meninggalkan kami. Walaupun bersikapnya tegas, namun pesona pada dirinya tak hilang.
Aku dan Sena tersenyum, lalu pergi meninggalkan lapangan menuju ke kantin. Peluh sudah membasahi baju, aromanya pun kurang mengenakan. Dengan cuek kami berdua mengambil tempat di dalam kantin. Keberadaan kami ini membuat mahasiswi resah, sebab aroma tubuh menyengat.
“Apa kabar Bro?” terdengar suara bertanya dari arah belakang. Aku dan Sena serempak menoleh ke belakang. Rupanya Ucup yang menyapa seraya senyum. Tak tahu senyumnya kali ini, senyum ikhlas atau senyum mengejek karena kami menjalani hukuman.
“Hebat Bro, hari pertama ospek kalian sudah membuat kegaduhan,” olok Ucup sambil tertawa lebar. “Ini bakal menjadi kenangan bagi kalian dan tak akan terlupakan,” lanjutnya.
Sena ikut tertawa dan Aku tersenyum melihat tingkah Ucup. Kami pun melanjutkan menyantap makanan yang tersedia di kantin. Lumayan lengkap menu yang ada di kantin, selain makanannya sesuai selera harganyapun murah. Makanan selera mahasiswa, enak dan mengenyangkan.
Usai istirahat, kegiatan ospek dilanjutkan, namun kali ini tak lagi di lapangan. Siswa dikumpulkan di dalam aula kampus. Aula ini cukup besar, bangunannya tinggi sehingga berada di dalamnya tak membuat gerah. Ratusan mahasiswa berkumpul di dalam satu ruangan tersebut. Kami mendengarkan pengarahan dari senior.
Nampak kelihatan tatapan mata Sena ke kiri dan kanan, seolah-olah sedang mencari sesuatu. Lama Aku perhatian tingkahnya dan membuat tak sabar untuk bertanya.
“Lagi cari Apa Sen, dari tadi kulihat kamu tampak sedang mencari sesuatu?” tanyaku.
“Iya, Aku sedang mencari Ririn. Kemana dia, kok gak kelihatan. Padahal semua pengurus BEM berkumpul di aula ini,” kata Sena.
Selama Aku dan Sena berbincang, tidak kami sadari ada sepasang mata sedang mengamati. Siapa lagi kalau bukan Rio, sang perfeksionis.
“Lagi ngobrol apa kalian,” tanya Rio yang mengagetkan Aku dan Sena.
“Lagi-lagi orang ini,” gumamku. Nampaknya Sena juga berpikiran sama sepertiku. Namun kali ini Sena mengacukan pertanyaan Rio. Untuk menghindari kesalahpahaman, langsung Aku jawab pertanyaannya.
“Lagi ngomongin yang akan kita lakukan sepulang dari kampus nantinya,” jawabku singkat.
“Belum waktunya pulang, kalian sudah memikirkan kegiatan setelah pulang. Perhatikan instruktur di depan, kalau merasa sudah pintar kalian berdua yang akan kami jadikan instruktur,” tegasnya.
“Iya Kak, maaf,” jawabku seraya menundukkan kepala. Namun Sena nampaknya tidak puas dengan sikap Rio. Tatapan matanya seakan ingin mengilas dan meremukkan Rio.
Selain tak senang dimarahi Rio, mungkin tak senang dikarenakan Ririn dekat dengan Rio. Acara berlangsung hingga pukul 16.00 WIB, selanjutnya para mahasiswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Seraya berjalan pulang, Aku dan Sena melintasi tempat parkir kendaraan.
Tampak terlihat motor metik terparkir dan ini menjadi perhatian Sena.
“Ri, tadi pagi Aku lihat Rio menggunakan motor ini. Gimana kalau kita kerjai,” ajak Sena.
“Mau kamu apakan motornya,” tanyaku singkat.
“Kita gembosin aja bannya, biar dia tahu rasa,” kata Sena seraya melangkah menuju tempat motor tersebut diparkir. Tanpa berpikir panjang, Sena langsung melakukan aksinya. Usai melakukan aksinya, kamipun berlalu meninggalkan tempat parkir.
Saat berjalan pulang, Sena sempat mengajak untuk berhenti di sebuah warung dekat gerbang kampus. Iapun langsung duduk di kursi yang sengaja disediakan oleh pemilik warung. Kami tinggal di kos-kosan, sehingga tak terlalu memikirkan untuk segera sampai ke kosan.
“Numpang duduk Bu,” sapa Sena kepada pemilik warung. Ibu itupun tersenyum dan mempersilakan kami duduk di depan warung tersebut.
“Ngapain kita di sini Sen,” tanyaku penasaran. Nampak raut wajah Sena sangat gembira dan melepar senyuman.
“Saya ingin lihat Rio mendorong motornya,” kata Sena dengan nada senang.
Sekitar 20 menit menunggu, belum juga terlihat Rio keluar dari sekolah. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bukannya melihat Rio mendorong motor, malah kami harus melihat Ririn yang sedang mendorong motornya. Kami sempat terperangah sesaat, mata kami saling berpandangan.
Diam seribu bahasa, dalam hatiku berkata, ternyata motor yang tadi digembosi bukan milik Rio. Karena merasa bersalah, Aku dan Sena langsung menghampiri Ririn yang nampak mulai kelelahan mendorong motornya.
“Kenapa?” tanya Sena langsung membantu Ririn memegangi dan mendorong motornya. Aku hanya terpaku melihat tingkat Sena yang seperti orang tak bersalah. Padahal dia merupakan aktor utama membuat Ririn kesulitan, lelah mendorong motornya.
“Ban motornya kempis, padahal baru Minggu lalu diganti,” kata Ririn menjelaskan ban baru motornya tersebut.
Obrolan ringanpun berlangsung hingga kami menemukan tempat tambal ban. Sesampai di tambal ban, Abang pemilik bengkel itu langsung mengisi angin pada ban motor milik Ririn. Selanjutnya ia mencoba mencari kemungkinan adanya lubang paku yang membuat ban kempis.
Selama menunggu, Sena memberanikan diri bertanya kepada Ririn. “Ini bukannya motor Rio, karena tadi pagi saya lihat Rio menggunakan motor ini,” katanya.
“Bukanlah. Tadi pagi dipinjam Rio untuk berbelanja kebutuhan kegiatan ospek,” jelas Ririn. Sena hanya bisa menganggukan kepala lalu tertunduk lesu. Kali ini Aku kasihan melihat Sena, kegagahan dan sifat emosionalnya hilang ketika berhadapan dengan Ririn.
Setelah mencari-cari, Abang tukang tampal ban ini tak juga menemukan bagian ban yang bocor. Lalu, Abang itu langsung menyapa Ririn.
“Mbak, ban ini tidak bocor. Mungkin pentilnya saja longgar. Sudah saya kencangkan, insyaallah aman,” katanya meyakinkan.
Sena senang, rasa bersalahnya sedikit terobati karena telah membantu Ririn mendorong motor hingga ke tukang tampal ban. Setidaknya Ririn tak terlalu lelah mendorong motor akibat ulahnya.
“Terima kasih ya,” kata Ririn seraya menatap Aku dan Sena. Ririnpun melaju di atas motornya membelah jalanan sore. Aku dan Sena melihatnya sampai kendaraan itu menghilangkan dari pandangan mata.
Walaupun bukan Aku yang menggembosi motor Ririn, namun rasa bersalah tetap saja Aku rasakan. Apalagi Aku menjadi saksi ketika Sena sebagai aktor utama kejadian ini. Kami kembali melanjutkan perjalanan memasuki gang sempat untuk sampai ke kosan.
***
Matahari cukup cerah hari ini, secerah wajah Sena. Ia tampak bersemangat untuk segera sampai ke kampus. Tak tahu apa yang membuatnya semangat, padahal sebelumnya Sena tak senang menjalani masa orientasi ini.
Tepat pukul 08.00 WIB, seperti hari sebelumnya mahasiswa baru berkumpul di halaman kampus. Masing-masing mahasiswa berbaris mengambil tempat yang telah ditetapkan. Posisiku berdekatan dengan Sena, namun agak jauh dari Ucup. Sebenarnya Ucup ingin bergabung dengan barisan kami, namun instruktur memisahkan.
Di depan kami berbaris beberapa instruktur dan pengurus BEM. Tak ketinggalan Ririn yang kini terus menjadi pusat perhatian Sena. Mata Sena selalu bergerak mengikuti pergerakan Ririn. Terkadang ia tak mendengarkan apa yang disampaikan instruktur. Namun karena kami berdekatan, Aku selalu memberikan informasi yang terlewati.
Mahasiswa dibagi beberapa kelompok. Lagi-lagi Aku dan Sena tergabung dalam satu kelompok. Untungnya lagi, kali ini Ucup juga masuk dalam kelompok kami.
“Pas sudah,” kataku seraya melepas senyum lega.
“Apalagi yang akan terjadi hari ini,” gumamku memandang dua sahabatku ini. Ditambah Ucup, akan semakin ramai kelompok ini. Sebab ia suka usil jika ingin melucu dan menarik perhatian orang. Aku harus ekstra menjaga sahabatku ini agar tidak membuat gaduh. Tapi kali ini Ucup tampak pendiam.
“Apa yang sedang direncanakan Ucup,” gumamku.
“Cup, jangan membuat yang aneh-aneh,” pesanku ditanggapi tawa lebarnya. Sikap diamnya langsung berubah ketika Aku memulai percakapan.
Banar saja perkiraanku, ternyata Ucup sudah membuat rencana. Semalam saat berada di kosan tanpa sepengetahuanku Sena dan Ucup sempat berbincang. Sena mengungkapkan rasa ketertarikannya dengan Ririn dan berusaha untuk mencuri perhatiannya.
Nasib baik sedang mengikuti kami, selain dikumpulkan dalam satu kelompok kami juga diberikan mentor yang cantik. Ririn, wanita idaman Sena menjadi mentor kelompok kami hari ini. Tampak senyum sumringah mengambang di bibir Sena. Iapun menoleh ke arah Aku dan Ucup.
Aku dan Ucup memberikan acungan jempol sebagai isyarat baik. Sena lebih bersemangat mengikuti rangkaian ospek hari ini, semua perintah instruktur diikuti secara benar. Ini menjadi salah satu caranya manarik perhatian Ririn.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, bak pepatah ini nasib baik mengikuti Sena. Karena perhatiannya fokus terhadap kegiatan ospek dan Ririn, membuat Aku dan Ucup tak mendapatkan perhatian. Kamipun bisa memahami perasaannya yang lagi berbunga.
Tak hanya kepada laki-laki, sebab Sena juga seorang pemberani terhadap perempuan. Saat kegiatan ospek akan berakhir, Sena langsung menghampiri Ririn untuk bertukar nomor kontak.
“Izin Teteh, bisa minta nomor teleponnya?” tanya Sena membuka percakapan.
“Boleh, tapi buat apa ya?” Ririn bertanya balik. Namun Sena tak kehilangan akal.
“Untuk tanya-tanya ke Teteh. Sayakan pendatang, jadi perlu banyak tahu tentang Bandung. Karena Teteh orang Bandung yang saya kenal, mungkin boleh saya nantinya bertanya,” jawabnya meyakinkan.
“O… Iya boleh,” kata Ririn. Ini bakal menjadi pintu masuk bagi Sena untuk mendekati Ririn.
Usai mendapatkan nomor telepon Ririn, kemudian Sena langsung berlalu untuk menghampiri kami.
“Gimana, sukses?” tanyaku sedikit memberikan semangat. Sena hanya memberikan isyarat dengan menganggukan kepala.(bersambung)