Sahabat, Bermalam di Bumi Perkemahan

Bagian 5
Bermalam di Bumi Perkemahan

LAMA kami tak bertemu dengan Ririn di kampus. Hari ini, Aku, Sena dan Ucup kebetulan ada jadwal kuliah, sehingga kami berangkat bersama. Seperti biasanya, sebelumnya masuk kelas kami terlebih dahulu mampir di kantin kampus hanya sekedar minum kopi dan sarapan gorengan. Harum semerbak kopi hangat memenuhi ruangan kantin, sudah banyak mahasiswa mengisi kursi-kursi di dalam ruangan kantin.

Lagi asyik mengunyah makanan, tampak dari kejauhan datang sesosok wanita berhijab merah berjalan menuju tempat kami duduk. Lama kami memperhatikan langkah wanita tersebut, namun kami belum juga bisa mengenalinya. Setelah jarak semakin dekat, lalu Ucup berteriak keras.

“Ririn,” Ucup memanggil dengan suara lantang. Suara keras Ucup ini membuat orang-orang yang berada di kantin tampak melihat ke arahnya. Sementara orang yang dipanggil Ucup hanya tersenyum manis.

“Hai,” Ririn menyapa kami bertiga. Selanjutnya ia duduk tepat di sebelah Sena yang kebetulan sedang duduk sendiri di hadapan Aku dan Ucup.

“Apa kabar kalian,” kata Ririn melanjutkan obrolan.

“Baik-baik,” kata Ucup, selanjutnya Aku dan Sena menganggukan kepala. Aku bertanya-tanya di dalam hati melihat penampilan Ririn saat ini. Penampilan yang dulunya sangat seksi, kini banyak berubah. Ia mengenakan pakaian muslimah dan sangat menyejukkan mata ketika melihatnya. Busananya sudah menutupi aurat.

Rasa penasaranku terhadap perubahan penampilan Ririn terpecahkan setelah Ucup bertanya langsung.

“Ririn, kamu tambah cantik. Sampai kami bertiga hampir tidak mengenali lagi,” kata Ucup. Ririn tersipu, wajahnya memerah mendengar godaan Ucup. Ternyata ucapan Ucup memberi pengaruh cukup besar bagi Ririn.

“Iya, sejak kedatangan kalian ke rumahku waktu itu, ada keinginanku untuk menggunakan hijab. Namun pengetahuanku tentang agama masih minim, Aku berharap kalian mau membimbing Aku,” kata Ririn menjelaskan dengan rinci.

Tentunya penjelasan Ririn ini membuat kami sendikit bangga, sebab ada peran kami dalam hijrahnnya.

“Boleh, kita belajar bersama. Jangankan membimbing, menjadi imampun Aku siap,” kata Sena. Namun Ririn tak begitu mengerti dengan perkataan Sena, padahal iman bagi seorang perempuan yaitu suami.

“Kalau kamu mau, kita bisa bersama mengikuti kajian Jumat yang rutin digelar di Masjid Agung,” ajak Sena dan mendapatkan sambutan baik dari Ririn. Aku dan Ucup juga ikut mengiyakan, sebab ini merupakan momentum tepat mengisi waktu dengan kegiatan positif.

“Iya, betul itu. Biasanya dalam kajian itu ada makanan juga. Jadi bisa makanan disana secara gratis,” jelas Ucup tanpa harus malu mengatakannya di depan Ririn.

“Dasar anak kost,” kata Ririn menimpal ucapan Ucup. Selanjutnya kamipun tertawa bersama. Ada benarnya juga yang dikatakan Ucup, hitung-hitung bisa mengurangi pengeluaran uang belanja harian.

Setelah mengisi perut dengan segelas kopi dan beberapa gorengan, Sena terlebih dahulu meninggalkan kantin untuk masuk kelas mengikuti kuliah. Tak lama kemudian disusul Ucup, sedangkan Aku masih harus menunggu di kantin, sebab belum masuk jam kuliah. Bersama Ririn kami ngobrol asyik.

“O..iya. Aku dengar kalian berantem dengan Rio,” kata Ririn membuatku terdiam. Aku tak tahu harus bicara apa, kali Aku takut Ririn marah karena Sena menghajar Rio cs habis-habisan. Lama Aku diam, kemudian Ririn kembali menegurku.

“Gimana, cerita dong,” kata Ririn melanjutkan. Kali ini Aku tak bisa berbuat banyak selain menceritakan kejadian sebenarnya. Ririn tampak menjadi pendengar yang baik, tak ada perkataan keluar dari mulutnya selama Aku bercerita. Hanya terlihat ekspresi kaget dan heran terpancar di wajahnya.

“Rio cemburu melihat Aku dan Sena pernah jalan bareng. Aneh, padahal di antara Aku dan Sena tidak ada hubungan apa-apa,” kata Ririn dengan nada memancing mungkin agar Aku mengajukan pertanyaan lebih jauh. Ku ikuti apa yang menjadi keinginan Ririn.

“Emang kamu tidak punya perasaan apapun sama Sena?” tanyaku dengan serius. Aku tidak ingin Ririn merasa dipermainkan, sehingga Aku harus berupaya semaksimal mungkin memainkan peran. Tentunya peranku kali ini sangat bermanfaat bagi Sena ke depan.

“Emangnya Sena punya perasaan apa sama Aku,” Ririn balik bertanya. Aku mencoba menghela napas dalam memancing agar Ririn kembali bertanya.

“Kenapa?” tanya Ririn singkat. Aku pura-pura terdiam dan hanya menggelengkan kepala.

“Kasihan Sena,” kataku singkat.

“Kenapa?” tanya Ririn lagi penuh rasa penasaran. Ririn yang kesal melihat aktingku langsung mencubit tanganku. Aku menyeringai kesakitan.

“Apa yang kenapa Rin?” Aku mencoba membuat Ririn semakin kesal.

“Kamu jangan gitu dong,” kata Ririn memelas. Akupun sudah tak tega melihat reaksi Ririn kali ini. Ia benar-benar ingin mendapatkan penjelasan dariku.

“Sena suka sama kamu, sementara kamu gak punya rasa apapun. Kan kasihan,” kataku. Tampak raut wajah tersipu Ririn di hadapanku. Ia diam dan ingin mendapatkan penjelasan lebih banyak dariku. Namun Aku tidak mau mengikuti keinginannya. Aku berlagak diam dan pura-pura tak peduli dengan perkataanku barusan.

“Bener ya?” tanyanya meyakini. “Nggak sih…,” jawabku yang kini membuat Ririn bertambah kesal. Kekesalan tersebut ia tumpahkan lagi-lagi dengan mencubitku. Aku sampai menyeringai menahan sakit cubitan kali ini. Kali ini tanganki sudah penuh bercak merah memar berkas cubitan Ririn.

“Iya…iya bener,” kataku untuk menghentikan cubitan Ririn. Ia tampak seneng mendengarkan perkataanku, lalu kembali duduk dengan tenang. Namun Aku tak henti-hentinya terus mendumal karena cubitan kali ini sangat menyiksa.

“Sena sering curhat tentang Aku sama kalian ya?” Ririn kembali melanjutkan bertanya. Kini Aku bertambah ingin untuk mengerjainya.

Lalu Aku berceloteh, “Uang kiriman semakin menipis, tapi kayaknya ingin sekali makan soto”. Mendengar celotehanku tersebut, mata Ririn menatap tajam ke arahku. Ia bertambah kesal, namun kali ini ia mengikuti lakon yang ingin Aku mainkan.

“Iya boleh, sana pesan sotonya. Nanti Aku yang bayar. Berikut kopi, gorengannya juga sekalian. Semua makanan kali ini Aku yang traktir,” tandasnya.

“Bener nih, ikhlas gak?” tanyaku sambil pura-pura tidak mau memesan makanan yang kuinginkan semula.

“Iya ikhlas-ikhlas, tapi kamu harus jawab semua yang ingin Aku ketahui tentang Sena,” tegasnya.

“Ok siap…!” Aku langsung memesan soto. “Kamu gak pesan juga sekalian,” Aku mencoba menawarkan Ririn untuk ikut makan soto.

“Gak… lihat tingkah kamu kali ini Aku sudah kenyang,” kata Ririn menuju raut wajah yang sedang marah. Tapi sebenarnya Ririn tidak marah, ia orangnya baik dan mudah bergaul dengan siapa saja. Kalau cuma mentraktir makan bukan masalah baginya. Mungkin uang jajannya seminggu sama dengan uang kiriman bulanan anak kos.

Hampir setengah jam kami ngobrol, setelah mendapatkan informasi yang cukup Ririn lalu pamitan meninggal kantin.

***

Sore itu, selagi asyik ngopi di kosan terdengar suara pesan masuk ke handphone Sena. Setelah membuka mambaca pesan tersebut, Sena sengat senang dan langsung memperlihatkan isi pesan tersebut kepada Aku dan Ucup.

Tertulis disitu, pengirim pesan Ririn dan ia mengundang kami agar besok Sabtu berkunjung ke rumahnya. Entah kenapa, Ririn meminta kami agar datang pagi hari.

“Gimana siap gak?” tanya Sena langsung mendapat anggukan kepala Aku dan Ucup.

Keesokan harinya, sekitar pukul 06.30 kami sudah siap untuk berkunjung ke rumah Ririn. Karena menggunakan angkutan umum, sehingga kedatangan kami cepat dan masih segar tidak bau keringat.

Ririnpun sudah menunggu di pintu pagar rumahnya, kali ini ia yang langsung menyambut kami dan mengajak ke gazebo seperti biasanya. Kami ngobrol sebentar, lalu Ucup bertanya. “Ada hajatan apa Rin?” tanyanya.

“Ini, kita ingin berwisata ke bumi perkemahan. Kalian ikutnya?” kata Ririn. Kami sempat terdiam, namun Ririn yang mengerti dengan kondisi kami kembali melanjutkan percakapan.

“Kalian jangan khawatir, semua sudah dipersiapkan. Kita tinggal berangkat saja. Nanti Sena dan Ucup yang nyupir ya. Sebab kita membawa dua mobil, satu untuk penumpang dan mobil satu lagi untuk membawa barang perlengkapan,” kata Ririn menjelaskan. Kami hanya mengangguk, lalu ia beranjak meninggalkan kami masuk ke dalam rumah.

“Tunggu ya,” kata Ririn seraya berlalu dari hadapan kami. Sementara itu kami hanya mengikuti keinginan Ririn, habis tidak tahu mau berbuat apa lagi. Tak lama, asisten rumah tangga Ririn datang menghampiri kami membawa tiga gelas kopi.

Wajah Ucup gembira melihat kopi dan beberapa kudapan. Kamipun tak menunggu lagi, setelah dipersilahkan minum langsung mengangkat gelas dan menyeruput kopi hitam hangat tersebut.

Mungkin ada sekitar setengah jam kami menunggu di gazebo, lalu Ririn keluar bersama seorang perempuan dan laki-laki menuju ke arah kami. Setelah berada di dekat kami, ia mengenalkan laki-laki dan perempuan tersebut.

“Ini Rico, adik saya dan ini Yani sepupu saya,” kamipun saling berkenalan. “Kita berenam ini akan pergi berkemah. Sena membawa mobil itu, dan Ucup mobil itu,” kata Ririn menjelaskan bahwa Sena akan membawa mobil minibus, sementara Ucup membawa mobil pickup.

“Ucup nanti ditemani Ari, sementara yang lainnya ikut naik mobil minibus. Tak bisa menolak, Ucup menganggukkan kepala dan Aku mengikutinya.

Perjalanan kami terlebih dahulu menuju ke kosan untuk mengambil pakaian ganti. Sebab sebelumnya kami tak mengetahui kalau harus menginap di Bumi Perkemahan, sehingga hanya ada baju di badan saja. Sebentar mengambil pakaian, kami langsung kembali ke kendaraan untuk melanjutkan perjalanan.

“Sena enak banget, gak panas pakai mobil ber-AC,” kata Ucup berceloteh. Aku hanya bisa menahan tawa, melihat wajah Ucup yang sedikit kesal.

“Sabar Cup, itu rezekinya Sena,” kataku menghibur. Kami mengikuti laju mobil yang dibawa Sena melintasi jalan kota hingga pemukiman penduduk penduduk dan hutan pohon-pohon vinus. Ketika berada di jalanan hutan, udara sejuk sudah terasa di kulit. Tentunya ini berbeda ketika melintasi jalanan penuh kendaraan saat masih di pusat kota.

Cukup lama di perjalanan, akhirnya kamipun sampai ke tujuan. Lokasinya dipenuhi dengan pohon vinus, berada di salah satu dataran tinggi di Paris Van Java tentunya sangat menyenangkan. Saat kami datang, hari memang belum terlalu siang, namun perut sudah mulai terasa lapar. Mungkin ini dikarenakan oleh goncangan selama berkendaraan.

Ada dua tenda yang kami bawa, Aku, Sena, Ucup dan Rico bertugas mendirikan tenda. Sementara Ririn dan Listiani menata peralatan memasak. Perjalanan ini mengasyikkan, sebab hampir semua peralatan berkemah sudah tersedia. Hanya butuh waktu 15 menit kami sudah selesai mendirikan dua tenda.

Aroma masakan makanan instan pun menyebar di antara pepohonan. Ini semangkin menggoda perut yang memang sangat lapar. Sambil menunggu makanan disajikan, Aku, Sena, Ucup dan Rico duduk dan berbaring santai di bawah naungan rindangnya daun pepohonan.

“Rico, tolong bawakan ini,” kata Ririn sambil menunjuk ke arah beberapa mangkuk mie instan dan nasi putih. Aku, Sena dan Ucup tak tinggal diam, kami pun ikut langsung membawa sejumlah makanan ke atas karpet plastik yang sudah terbentang sejak tadi.

Satu persatu makanan dihidangkan, kami berkumpul untuk menyantap hidangan mie instan tersebut. Tak ada obrolan ketika melahap makanan, kayaknya disebabkan rasa lapar. Di antara kami, Ucup lebih dahulu selesai makan.

“Enak sekali masakan kalian. Pas bumbunya,” kata Ucup melihat ke arah Ririn dan Yani. Kedua gadis ini menatap tajam ke arah Ucup lalu menimpal dengan ucapan, “Bumbunya emamg sudah pas dari pabriknya,” tegas mereka hampir berbarengan.

Selanjutnya kami semua tertawa mendengar guyonan Ucup kali ini. Usai melahap makanan, beberapa perlengkapan makan yang kotor dikumpulkan untuk di bawa ke aliran sungai yang jaraknya tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda.

Ririn dan Yani sudah bersiap ke sungai, Sena dengan cekatan ikut membawakan perlengkapan makan yang akan dicuci. Aku dan Ucup juga segera mendekat ingin melihat air sungai yang mengalir di antara lereng perbukitan.

Air mengalir jernih di antara celah akar pepohonan, Aku tak sabar dan langsung berendam di aliran sungai. Selanjutnya Ucup mengikuti langkahku, sementara Sena membantu Ririn dan Yani membersihkan peralatan makan. Sisa makanan yang terbawa arus sungai menjadi santapan lezat bagi penghuni sungai.

Ikan-ikan kecil tampak saling berebutan memakan butiran nasi. Sejuk air sungai ini membuat Aku enggan berangkat, ingin rasanya mencelupkan badan ke dalam aliran air tersebut.

“Nanti kita mengikuti aliran sungai ini, ada air terjun di jurang bukit itu,” kata Ririn. Ternyata berkemah sudah menjadi hobi Ririn, sebab ia sudah sangat mengenal Bumi Perkemahan ini.

Setelah meletakkan perabotan ke tenda, kamipun ingin melanjutkan niat untuk melihat air terjun.

“Rico, kita mau ke air terjun. Kamu mau ikut gak,” tanya Ririn disambut gelengan kepala Rico. Ia lebih memilih beristirahat tidur-tiduran di karpet. Rico pun sudah sering ke tempat ini, sehingga lokasi air terjun yang ingin kami kunjungi tak asing lagi baginya.

Banyak bebatuan licin untuk menuju lokasi air terjun, sehingga kerapkali Sena membimbing Ririn agar tak jatuh terpeleset. Sementara Aku dan Ucup membantu Yani. Tak terasa, kami sudah dekat dengan lokasi air terjun. Gemuruh air sudah mulai terdengar, percikan embun dari hempasan air terjunpun mulai bisa kami rasakan menempel di kulit.

Semakin dekat dengan air terjun, samakin dingin dan basah. Melihat air jernih yang indah ini membuat Ucup ingin menceburkan tubuhnya.

“Buarrr,” terdengar suara hempasan tubuh ke permukaan air. Ternyata Ucup sudah mendahului kami semua. Namun ini tak berlangsung lama, sebab ia kembali ke dataran dengan tergesa-gesa.

“Dingin….,” ungkapnya. Kami tersenyum sambil merendam kami ke dalam air. Setelah tubuh menyesuaikan diri, maka Aku dan Sena mengikuti langkah Ucup untuk menikmati sejuknya air pegunungan. Sebab sayang sudah datang dari jauh, namun tidak merasakan nikmatnya mandi air terjun.

Kami bertiga asyik bermain di air, sementara Ririn dan Yani masih belum mau mandi. “Ayo mandi,” ajak Ucup dijawab dengan acungan jempol oleh dua gadis parahiyangan ini.

Sudah puas merasakan dinginnya air pegunungan, Ucup beranjak ke daratan. Ia mendekati sebuah batu besar yang terkena sinar matahari. Ia pun berjemur untuk mengusir rasa dingin yang sudah mulai menusuk tulang.

Melihat Ucup yang kedinginan, Ririn memanggilnya. “Kesini Cup, kita buat kopi,” ajaknya. Ucup hanya menoleh dan belum beranjak dari batu besar tersebut. Mungkin ia tidak percaya dengan ajakan Ririn untuk membuat kopi. Tapi setelah Ririn mengeluarkan parafin, cangkir alumunium dan bungkusan kopi, Ucup langsung mendekat.

“Saya kira kamu bercanda Rin,” kata Ucup.

“Ya nggaklah. Sudah saya kasih tahu, perbekalan dan perlengkapan sudah disiapkan,” tegas Ririn meyakinkan dan sedikit membanggakan diri.

Emang Ririn sangat pandai, tentunya beruntung Sena bisa mendapatkannya. Parafin dinyalakan, kemudian Ucup meletakan salah satu cangkir alumunium yang telah terisi air. Hanya butuh waktu 15 menit, air di cangkir sudah mendidih. Bubuk kopi dimasukan, selanjutnya diaduk hingga merata.

Aku dan Sena ikut menghampiri Ucup, ingin mencoba kopi buatannya. Kopi hangat di pegunungan memang enak dan tidak ada tandingnya. Karena cuma ada satu cangkir, maka kami menyeruput kopi tersebut secara bergantian. Usai meminum kopi, kemudian Ririn mengajak Yani untuk mandi di air terjun.

Kini giliran para bidadari yang mandi, sementara kami terus menikmati kopi mengusir rasa dingin di tubuh. Sesekali Aku lihat Sena melirik ke arah kolam air terjun melihat Ririn yang sedang merendam tubuhnya. Karena telah merasa kedinginan, Ririn dan Yani beranjak dari air dan langsung mengajak kembali ke tenda.

Masih menggunakan pakaian basah, kami menjejakkan kaki di bebatuan lincin. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Saat hendak menjejakkan kaki dari satu batu ke batu lainnya, Ririn terpeleset membuat kakinya terjepit di antara bebatuan.

Sena dengan sigap memberi pertolongan, mengangkat kaki Ririn pelan-pelan. Kaki Ririn hanya mengalami luka goresan, namun ia tak mampu berjalan lagi. Sebab di pergelangan kakinya terasa nyeri saat diinjakan ke tanah.

“Gimana kalau saya gendong,” kata Sena. Ririn mengangguk pelan, lalu Sena dengan perlahan mengangkat tubuh Ririn. Tampak terlihat mesra, Ririn mengikatkan tangannya di leher Sena. Dagunya menempel di pundak Sena, terkadang terlihat mulut Ririn berbisik ke telinga Sena dan membuat Sena tersenyum.

Melihat keasyikan mereka timbul rasa usil Ucup, “Sena, kalau capek gantian saya yang gendong,” kata Ucup. Sena hanya tersenyum, namun Ririn mengacungkan genggaman tangan ke arah Ucup. Karena sesekali melihat Ririn berbisik, Ucup kembali menggoda.

“Ririn, berbisik apa ke telinga Sena, sehingga Sena gak capek-capek. Kami kasih doping ya,” kata Ucup. Kali ini bukan hanya tersenyum, Aku, Yani dan Ucup tertawa berbarengan.

Sesampai di tenda, perlahan Sena membaringkan Ririn di karpet. Rico memeriksa kondisi kaki kakaknya.

“Kayaknya keseleo aja, coba dioles pakai obat gosok ini,” kata Rico seraya merogoh tasnya lalu mengeluarkan obat gosok. Kemudian Ririn menggosok kakinya, terkadang ia meringis kesakitan.

“Boleh Aku bantu,” kata Sena. Ririn mengiyakan, kemudian Sena mulai mengurut bagian kaki yang keseleo. Karena sering mengalami keseleo saat latihan silat, membuat Sena bisa mengobati keseleo ringan seperti yang dialami Ririn.

Hari menjelang sore, Aku dan Ucup mengumpulkan ranting kayu kering. Rico sudah mulai menghidupkan api unggun, sedangkan Yani memasak makanan. Setelah selesai mengumpulkan ranting kering, Aku menemani Yani memasak makanan. Semua makanan serba instan, sehingga tak sulit memasaknya.

Aku menyusun piring, gelas dan kepeluan lain untuk kami makan. Tangan Yani tampak cekatan mempersiapkan makanan, mungkin sudah terbiasa memasak di dapur. Cara menghidangkan makanannya pun unik, enak dilihat.

“Sering mamasak ya?” tanyaku membuka pembicaraan. Sebab sejak kami berangkat hingga saat ini, Aku belum pernah mendengar suaranya. Sesekali hanya terlihat ia tersenyum dan tertawa saja.

“Iya, Aku kuliah jurusan tata boga. Jadi ini sudah menjadi kegiatanku sehari-hari,” jelasnya. Aku mengangguk kepala dan terus menyaksikan ia menunjukan kepiawaiannya dalam bidang tata boga.

“Ri, lengket banget melihat Yani. Nanti kamu naksir lagi,” kata Ririn. Aku senyum, begitu juga Yani.

“Iya, masih boleh gitu naksir Yani. Bukannya sudah ada yang punya,” kataku memancing untuk mengetahui apakah Yani sudah memiliki pacar.

“Belum lagi, masih jomblo,” jelas Ririn. Kali ini Yani membelalakkan matanya ke arah Ririn seraya mengacungkan jari telunjuknya.

*Alhamdulillah,” kataku. “Apanya yang Alhamdulillah, emang Yani mau sama kamu,” kata Ririn menimpal ucapanku. Aku hanya tersenyum, sementara Yani tersipu malu.

Makanan dihidangkan, lalu kamipun makan bersama. Usai makan, Yani memasak air untuk membuat kopi. Aku kembali membantunya mempersiapkan gelas kopi. Segelas kopi hangat dan api unggun sedikit bisa mengusir rasa dingin di tubuh.

Cahaya bulan cukup terang, menembus celah-celah daun pepohonan. Udara semakin dingin, api unggun yang tadinya menyala besar, kini sudah mulai meredup menyisakan bara api.

Ucup sudah merebahkan badan di dalam tenda, begitu juga dengan Rico. Sementara Aku, Sena, Ririn dan Yani masih asyik berbincang di luar tenda. Obrolan ini membuat Aku lebih mengenal jauh tentang Yani, sedangkan Sena dan Ririn semakin dekat saling berbagi cerita.

Malam semakin larut, udara juga semakin dingin akhirnya kami memutuskan untuk berlindung di tenda. Ririn sudah mulai bisa berjalan menuju tenda tanpa harus digendong lagi. Yani membantu memegang tangannya menuntun sampai masuk ke dalam tenda.

Kamipun mulai memejamkan mata dan membuatkan bara sisa-sisa api unggun memberikan sedikit cahaya. Bumi Perkemahan membuat kami terlelap tidur dalam pelukan dinginnya malam.(bersambung)

Tinggalkan Balasan